Showing posts with label STF D. Show all posts
Showing posts with label STF D. Show all posts

Wednesday, June 8, 2011

Filsafat Ketuhanan - Tugas Akhir

I. Definisi:

1) Monisme: paham bahwa segala sesuatu adalah satu (bukan hanya kesatuan) dan kemajemukan adalah ilusi atau emanasi dari yang satu itu.

Dualisme: paham bahwa segala sesuatu berdasar atas dua prinsip yang saling tidak bergantung satu sama lain dan tidak mewujudkan keselarasan (saling berlawanan, berkonflik).

Panteisme: paham bahwa Yang Ilahi bersemayam dalam segala-galanya, sehingga Yang Ilahi bersifat imanen saja dan bukan transenden, substantif dan bukan personal (Allah adalah alam dan sebaliknya).

Deisme: paham bahwa Allah menciptakan dunia lalu meninggalkannya (karena Allah itu sempurna maka dunia yang dibuatNya dapat berjalan sendiri dengan baik seperti halnya seorang pembuat jam sempurna dan jam sempurna yang dibuatnya), atau dengan kata lain Allah menciptakan harmonia praestabilisata (keselarasan yang sejak semula sudah dipastikan), sehingga dengan demikian campur tangan Allah tidak ada (mukjizat tidak ada dan doa tidak ada gunanya).

2) Nihilisme: paham yang menegasikan satu atau lebih aspek-aspek hidup yang dipercayai dan dianggap bermakna, contohnya penolakan bahwa hidup memiliki makna dan tujuan, nilai moral itu ada, atau bahwa ilmu pengetahuan itu mungkin.

Agnostisisme: paham yang tidak mengakui rasionalitas wacana Tuhan, atau bahwa pernyataan tentang Tuhan dapat dihubungkan dengan klaim kebenaran, atau bahwa keagamaan dapat dipastikan secara objektif, sehingga keyakinan religius adalah kecenderungan pribadi yang tidak usah dibicarakan.

Materialisme: paham yang menganggap bahwa segala sesuatu adalah materi, tidak ada yang nyata selain materi, dan semua fenomena adalah hasil dari interaksi materi.

3) Kontingen: tidak dapat berdiri sendiri untuk menjadi nyata atau bernilai, membutuhkan yang lain di luar dirinya, terkondisi, bersyarat.

Mutlak: berdiri sendiri untuk menjadi nyata atau bernilai, tidak membutuhkan yang lain di luar dirinya, tidak terkondisi, tidak bersyarat.

Transenden: melampaui alam ciptaan atau yang terbatas.

Imanen: ada di mana-mana di dalam dunia, meresapi apapun yang ada.

Transendental: syarat kemungkinan suatu pengetahuan.

4) Pemakaian bahasa ekuivok:
Pemakaian bahasa yang sama dalam arti yang berbeda.

Pemakaian bahasa univok:
Pemakaian bahasa yang sama dalam arti yang sama.

Pemakaian bahasa analog:
Pemakaian bahasa yang sama dalam arti yang tidak sama sekali sama dan tidak sama sekali berbeda.

Friday, April 1, 2011

Filsafat Ketuhanan – SAP 2

1. Apa inti kritik agama Feuerbach?

Kritik Feuerbach berawal dari kritik terhadap pemikiran Hegel. Menurut Feuerbach, Hegel seakan-akan mengatakan bahwa yang nyata adalah Allah (roh semesta), sedangkan manusia hanyalah wayangnya. Padahal yang nyata dan kelihatan adalah manusia, bukan Allah. Allah adalah pikiran manusia, bukan sebaliknya. Inti dari kritik agama Feuerbach bersumber pada pengandaian ini, bahwa yang nyata adalah pengalaman inderawi dan bukan pikiran spekulatif.
Jadi, alih-alih Allah menciptakan manusia, manusialah yang menciptakan Allah. Allah dan agama adalah proyeksi hakekat manusia sendiri. Namun, manusia lupa pada kenyataan ini. Yang sebenarnya angan-angan, dianggap memiliki eksistensinya sendiri yang mandiri, sehingga manusia lalu menjadi takut dan menyembahnya. Jadi saat manusia menyembah Allah, sebenarnya ia sedang menyembah cerminan hakekatnya yang tidak ia sadari.
Dengan demikian, sesungguhnya agama menunjukkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Dalam agama, hakekat manusia dipisahkan dari dirinya dan diobjektifkan, dipandang, dan dipuja sebagai makhluk lain (hakekat ilahi).

2. Apa yang mau dikatakan Freud dengan menamakan agama sebagai ilusi infantil?

Dalam agama, manusia percaya pada dewa-dewa yang akan melindunginya dari segala kesusahan. Akan tetapi, sesungguhnya ini adalah sebuah ilusi karena dewa-dewa tidak ada. Manusia yakin bahwa ia dilindungi dewa-dewa bukan karena didukung kenyataan, tetapi karena ia menginginkannya supaya begitu.
Mengharapkan dengan naif agar apa yang diinginkan terpenuhi adalah ciri khas anak kecil. Anak kecil menghadapi masalah-masalah nyata tidak secara dewasa (dengan menerima, mencari jalan dengan kekuatan sendiri), melainkan dengan pikiran yang penuh harap.
Begitulah yang terjadi dalam agama. Dalam agama, manusia menghadapi masalah, tidak dengan dewasa, melainkan dengan pikiran penuh harap akan dewa-dewa yang akan menolong. Dalam agama, manusia berpegang pada ilusi akan dewa-dewa secara kekanak-kakanakan, sebagai sarana menghadapi masalah-masalah nyata. Oleh sebab itulah agama disebut sebagai ilusi infantil.

3. Mengapa Sartre berpendapat bahwa manusia tidak bebas kalau ada Allah?

Manusia tidak bebas kalau ada Allah karena dengan demikian kodrat manusia sudah ditentukan.
Sartre membedakan dua macam kenyataan, yang pertama berada pada dirinya sendiri dan yang kedua berada bagi dirinya sendiri. Manusia adalah pengada yang berada bagi dirinya sendiri. Eksistensinya mendahului esensinya, yang berarti ia tidak memiliiki suatu kodrat yang pasti untuk menentukan dirinya. Manusia benar-benar bebas dan tidak ditentukan. Dalam proyeksi diri melalui kebebasannya itulah, manusia sungguh menjadi.
Jika ada Allah, maka manusia kehilangan semua itu. Manusia akhirnya memiliki kodrat, suatu kerangka acuan atas mana ia diciptakan. Ia tidak dapat lagi dengan kebebasan totalnya menentukan kodratnya sendiri. Manusia berhenti menjadi pengada bagi dirinya sendiri dan menjadi pengada pada dirinya sendiri.

Filsafat Ketuhanan – SAP 1

1. Apa perbedaan antara filsafat ketuhanan dan teologi?

Teologi berbicara tentang iman dan Tuhan dari suatu sudut tertentu, yakni wahyu. Apa yang diimani dan dijalani dalam hidup menurut iman dilihat kesesuaiannya dengan wahyu sebagai sumber iman tersebut. Demikian juga halnya dengan Tuhan.
Wahyu adalah sumber kebenaran dalam teologi. Karena itu, setiap agama memiliki teologinya sendiri, dan setiap refleksi dan diskursus secara teologis hanya terjadi dalam orang-orang yang sudah menerima wahyu tertentu tersebut sebagai sumber kebenaran.

Filsafat ketuhanan berbicara tentang iman dan Tuhan tidak dari sudut-sudut tertentu, melainkan secara mendasar. Iman dan Tuhan dilihat dengan menggunakan nalar. Iman, misalnya, dengan demikian dapat dilihat dari sudut konsistensi logis antara ajaran-ajaran di dalam agama tersebut, kesesuaian ajaran dengan pengetahuan tentang dunia dan masyarakat, kemudian juga dapat dilihat dari sudut pengalaman batin. Demikian juga Tuhan. Kepercayaan tentang Tuhan dibicarakan secara rasional.
Nalar adalah sumber kebenaran dalam filsafat ketuhanan. Karena itu, refleksi dan diskursus dapat terjadi di antara orang-orang tanpa dibatasi keperluan mempercayai kebenaran suatu wahyu tertentu.

2. Apa yang dimaksud dengan perubahan dari paradigma teosentris ke paradigma antroposentris?

Perubahan paradigma teosentris ke paradigma antroposentris berarti perubahan suatu kerangka pikir dimana sebelumnya segala-galanya dipandang dari sudut Allah yang menciptakan, mengarahkan, mempertahankan, dan menyelamatkan manusia (theos = Allah, dan centrum = pusat), menjadi dari sudut manusia (anthropos = manusia), sehingga bahkan kemudian Tuhan pun dipertanyakan dari sudut manusia.
Perubahan ini terjadi pada abad ke-13 sampai dengan abad ke-17, dan ditandai dengan berbagai peristiwa. Di abad pertengahan, perubahan paradigma ini diawali dengan persaingan antara Kaisar dan Paus dan diterimanya filsafat Aristoteles sebagai kerangka filsafat utama Eropa Barat, yang memisahkan wilayah ‘dunia’ dan ‘ilahi’. Kemudian pada abad ke-14, cita-cita kemanusiaan Romawi dan Yunani pra-Kristiani kembali menyeruak dan mulai menempatkan manusia sebagai pusat perhatian, menggeser perspektif budaya yang ditentukan agama. Lalu, pada jaman Renaissance, kesadaran akan subjektivitas mencuat, ironisnya, di tengah kebangkitan kembali agama. Contohnya adalah Martin Luther yang melawan dominasi Gereja atas kehidupan religius umat dan menegaskan setiap orang berhak memahami sendiri Kitab Suci. Untuk pertama kali, manusia menjadi pusat dari keselamatannya sendiri.

3. Apa yang dimaksud dengan Deisme?

Deisme adalah paham dimana Allah menciptakan alam semesta berikut hukum-hukumnya lalu membiarkannya berjalan sendiri. Dengan demikian, Deisme mengandaikan harmonia praestabilisata, keselarasan yang sejak awal dipastikan. Allah seumpama pembuat jam yang sempurna, yang tidak perlu mengutak-atik jamnya lagi secara berkala setelah diciptakan karena jamnya sudah sempurna sejak dibuat dan tidak memerlukan diriNya untuk berjalan.
Implikasinya adalah:
-    hilangnya kegunaan berdoa karena segala sesuatu, termasuk situasi saat ini, sudah sempurna dan baik adanya, dan juga karena Allah tidak terlibat lagi dalam alam semesta ini
-    tidak adanya mukjizat karena alasan serupa, Allah tidak terlibat dan dekat lagi
-    tidak ada wahyu, juga karena Allah tidak terlibat lagi
Deisme membuka jalan untuk ateisme, karena jika Allah sudah dicoret dari hiruk pikuk alam semesta yang sekarang, tidak ada alasan kenapa peranNya di permulaan harus dipertahankan (dalam ateisme peran Allah dicoret seluruhnya).

4. Apa tiga tahap perkembangan intelektual manusia menurut Comte?

-    Tahap I: tahap teologis
Pada tahap ini, gejala-gejala alam dijelaskan sebagai hasil tindakan dewa atau kekuatan-kekuatan adi-duniawi lain, hasilnya adalah mitos dan agama.

-    Tahap II: tahap metafisik
Pada tahap ini, gejala-gejala alam dijelaskan sebagai hasil konsep-konsep dan prinsip-prinsip abstrak spekulasi filsafat, hasilnya adalah filsafat.

-    Tahap III: tahap positivisme
Pada tahap ini, gejala-gejala alam dijelaskan secara ilmiah, diamati dan ditemukan hubungannya dalam metode positif, hasilnya adalah ilmu pengetahuan.

Tuesday, February 15, 2011

Immanuel Kant, Filsuf di Persimpangan Jalan

Rasionalisme dan empirisme
Sebelum Kant, terdapat dua mazhab besar dalam filsafat yang saling bertentangan, yaitu rasionalisme dan empirisme. Keduanya berusaha mencari tahu dari mana sejatinya pengetahuan berasal. Rasionalisme menjawab bahwa sumbernya adalah rasio, sedangkan empirisme menjawab sumbernya adalah pengalaman.

Rasionalisme menyatakan bahwa dalam memperoleh pengetahuan, manusia cukup menggunakan rasio, dan bukan pengalaman. Hal ini disebabkan rasio mampu memberikan kepastian yang tidak bisa dicapai pengalaman (hasil dari aktivitas persepsi inderawi bisa menipu). Contoh paling jelasnya adalah matematika. Dalam matematika, pengalaman tidak diperlukan dalam memperoleh pengetahuan. Manusia dapat memperoleh pengetahuan hanya dengan mengandalkan rasionya saja. Manfaat pengalaman hanyalah untuk mengafirmasi sesuatu yang memang sudah diketahui rasio. Jadi, pengalaman adalah sesuatu yang datang kemudian dan tidak menghasilkan pengetahuan itu sendiri.

Sejarah Filsafat Yunani

Herakleitos
Ada
Herakleitos berbicara tentang kosmos yang merupakan suatu kesatuan. Ia menunjukkan hal tersebut, beserta juga dengan sifat spesifiknya melalui berbagai fragmen.
Dalam fragmen-fragmen DK 22 B1 dan 50, kesatuan tersebut ditunjukkan melalui logos yang bisa juga berarti penyebab utama segala sesuatu. Dalam hal ini, semua hal ditopang oleh logos. Ia menjadi prinsip dari semua hal, sesuatu yang sangat umum, dasariah, dan selalu hadir di dalam segala adaan dan pergerakannya meskipun tidak mesti dikenali (kaum Stoik, yang menganggap Herakleitos sebagai pendahulunya mengartikan logos sebagai prinsip kausal rasional yang menyerapi dan mengatur dunia).1
Selain diatur oleh logos, Herakleitos juga menggambarkan kesatuan dunia sebagai api yang dinamis. Segala fenomena disatukan melalui api yang bersifat seperti emas atau alat tukar. Hal ini ditunjukkan melalui fragmen-fragmen DK 22 B30, 90, serta 31a dan b.
Pemilihan Herakleitos atas api mungkin juga dikarenakan sifatnya yang dinamis dan menghasilkan perubahan yang mudah terlihat ketika menjadikan cahaya dan panas dari benda yang dibakarnya.2
Kemudian, dalam fragmen-fragmen DK 22 B91, 49a, dan 12, ditunjukkan bahwa segala sesuatu selalu berada dalam gerak perubahan. Oleh karena itulah, kita tidak dapat menginjakkan kaki di sungai yang sama dua kali, karena bukan hanya sungainya yang berubah, tetapi kitanya juga sudah berubah.3
Dan terakhir, kesatuan kosmos digambarkan Herakleitos justru melalui perlawanan. Dalam hal yang berlawanan ditemukan kesatuan dan harmoni (DK 22 B61, 67, 60, 9, dan 111). Dalam fragmen DK 22 B61, misalnya, dituliskan tentang air laut yang dapat membunuh maupun menghidupkan. Kedua sifat yang bertentangan ini sebenarnya membicarakan tentang hal yang satu, yang dalam perspektif logos (yang lebih tinggi) memang akan tampak sebagai satu. Dengan demikian, perlawanan pun menunjukkan kesatuan kosmos, kesatuan yang di dalamnya ada harmoni dari ketegangan, seperti harmoni senar yang tegang ditarik dari kedua sisi (DK 22 B51 dan 80).4