Sebelum Kant, terdapat dua mazhab besar dalam filsafat yang saling bertentangan, yaitu rasionalisme dan empirisme. Keduanya berusaha mencari tahu dari mana sejatinya pengetahuan berasal. Rasionalisme menjawab bahwa sumbernya adalah rasio, sedangkan empirisme menjawab sumbernya adalah pengalaman.
Rasionalisme menyatakan bahwa dalam memperoleh pengetahuan, manusia cukup menggunakan rasio, dan bukan pengalaman. Hal ini disebabkan rasio mampu memberikan kepastian yang tidak bisa dicapai pengalaman (hasil dari aktivitas persepsi inderawi bisa menipu). Contoh paling jelasnya adalah matematika. Dalam matematika, pengalaman tidak diperlukan dalam memperoleh pengetahuan. Manusia dapat memperoleh pengetahuan hanya dengan mengandalkan rasionya saja. Manfaat pengalaman hanyalah untuk mengafirmasi sesuatu yang memang sudah diketahui rasio. Jadi, pengalaman adalah sesuatu yang datang kemudian dan tidak menghasilkan pengetahuan itu sendiri.
Empirisme, sebaliknya, menyatakan bahwa pengalamanlah sumber pengetahuan yang sebenarnya. Pengalaman itu jauh lebih pasti daripada rasio (bandingkan kuat dan nyatanya kesadaran saat tangan terbakar api dengan kesadaran yang hanya diberikan pemahaman). Rasio hanya berguna untuk mengatur pengetahuan yang berasal dari pengalaman. Selain itu, empirisme juga mengatakan bahwa saat manusia lahir (ketika pengalaman belum datang), ia hanyalah selembar kertas putih kosong. Manusia baru memperoleh pengetahuan ketika berbagai pengalaman datang pada dirinya.
Jadi, pertentangan keduanya sebenarnya berasal dari bagaimana kedua pandangan tersebut menganggap dunia, atau objek. Rasionalisme meragukan kepastian objek yang memang tidak bisa benar-benar dibuktikan dan hanya mau berpegang kepada kepastian rasio. Empirisme, sebaliknya, benar-benar mempercayai objek tepat seperti bagaimana yang ditangkap panca indera (pengalaman), karena intensitasnya memang jauh lebih kuat daripada rasio. Perbedaan hal yang boleh dianggap sebagai kepastian inilah yang menyebabkan keduanya berbeda pendapat dalam menentukan sumber pengetahuan.
Kritisisme
Kritisisme Kant |
Immanuel Kant mendamaikan kedua mazhab ini dengan melakukan revolusi Kopernikan. Pusat pemikiran rasionalisme dan empirisme, yaitu subjek mengarahkan diri pada objek, diubah menjadi objek mengarahkan diri kepada subjek (sama seperti Kopernikus yang mengubah pusat tata surya dari bumi menjadi matahari). Jadi, tidak seperti rasionalisme dan empirisme yang mempertentangkan kepastian objek, Kant mengkritisi subjek yang ‘dipancari’ objek tersebut. Akibatnya, dalam pemikiran Kant objek diyakini ada, yang harus dipertanyakan adalah subjeknya, atau lebih spesifik lagi, kemampuan subjek dalam mengetahui objek. Dengan kata lain, Kant memperdamaikan rasionalisme dan empirisme dengan cara berhenti membahas dunia (objek), dan membahas manusia sebagai pembangun dunianya sendiri (subjek).
Secara lebih detil, bagi Kant pengetahuan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap inderawi (Sinneswahrnehmung), tahap akal budi (Verstand), dan tahap intelek (Vernunft). Dalam tahap inderawi, objek pertama kali ditangkap dengan menggunakan panca indera. Seperti yang tadi telah disebutkan, Kant meyakini keberadaan benda-benda (objek) pada dirinya sendiri (das Ding an sich). Meskipun demikian, bagi Kant benda yang sejati tidak dapat kita alami. Kita hanya dapat menangkap benda sejauh yang mampu kita tangkap. Misalnya, sebuah kursi pada dirinya sendiri (kursi an sich) tidak dapat kita tangkap seperti apa. Yang bisa kita tangkap hanyalah kursi sebagaimana ia tampak pada kita. Jadi, dalam tahap inderawi ini, sudah ada dua unsur apriori (unsur yang sudah kita miliki sebelum pengalaman), yakni ruang dan waktu. Kursi an sich tadi dapat ditangkap oleh panca indera kita, karena sebelumnya sudah tersaji dalam bentuk tiga dimensi (ruang) yang berjalan dalam waktu, meskipun kursi yang sebenarnya tidak dapat kita tangkap seperti apa. Dengan demikian, ruang dan waktu dalam filsafat Kant bukanlah sesuatu yang berada di luar subjek, melainkan melekat kepada subjek sebagai suatu perangkat untuk mengalami realitas yang sejatinya tidak bisa kita tangkap, laksana sebuah teropong yang kita gunakan untuk melihat suatu benda yang hanya bisa kita lihat dengan teropong tersebut, dan wujud aslinya tidak dapat kita alami. Persepsi terhadap objek yang ditambahkan dengan unsur apriori ruang dan waktu inilah yang disebut Kant sebagai pengalaman.
Dalam tahap akal budi, pengalaman tadi kemudian ditambahkan dengan struktur apriori lagi. Struktur apriori yang berikut ini disebut kategori, dan berjumlah dua belas. Kategori ini hanya akan ditambahkan kepada pengalaman yang sesuai. Contohnya, jika kita melihat sebuah kursi patah saat diduduki seorang yang sangat besar (pengalaman), kategori yang akan ditambahkan adalah kategori kausalitas. Dengan demikian, bagi kita kursi itu patah karena seorang yang sangat besar mendudukinya. Pengalaman ditambah dengan kategori inilah yang disebut pengetahuan.
Jadi di sini kita lihat bahwa bagi Kant, pengetahuan adalah sintesis unsur aposteriori (unsur yang datang sesudah pengalaman) dan apriori. Empirisme benar ketika menyatakan pengalaman merupakan sumber pengetahuan, dan rasionalisme juga benar ketika menyatakan rasio (unsur apriori) merupakan sumber pengetahuan. Keduanya sama-sama salah ketika menegasikan peran yang lain.
Kemudian, tahap yang tertinggi, tahap intelek merangkum seluruh pengetahuan ini dan memberikan mereka orientasi. Terdapat tiga macam orientasi, yakni Jiwa, Dunia, dan Allah. Semua pengetahuan batiniah diberi orientasi Jiwa, semua pengetahuan duniawi diberi orientasi Dunia, dan keduanya didasari oleh orientasi akan Allah. Dengan kata lain, di sini semua pengetahuan bagaikan dipisah ke dalam salah satu dari dua keranjang, yaitu Jiwa atau Dunia, yang keduanya berada di dalam satu keranjang yang besar, yakni Allah. Melalui intelektualitas, benda-benda an sich pada akhirnya kita alami sebagai bagian dari aku (Jiwa), atau di luar aku (Dunia), dengan semuanya itu berada di dalam Allah.
Jadi, Allah dalam kritisisme Kant bukanlah Allah sebagaimana ada di berbagai agama. Allah dalam kritisisme Kant adalah cara kita mengalami das Ding an sich. Oleh karena itulah, pengertian akan Allah tidak akan bisa dicapai. Allah bukanlah pengetahuan, Allah adalah cara kita mengetahui.* Demikian pula halnya dengan Jiwa dan Dunia.
*tambahan: melalui cara mengetahui yang disebut Allah ini, kita bisa mengalami diri kita (yang dihasilkan orientasi Jiwa) dan dunia di luar kita (yang dihasilkan orientasi Dunia) sebagai realitas yang terhubung dan berada dalam satu kesatuan kenyataan.
Persimpangan jalan
Kritisisme menyatukan rasionalisme dan empirisme, tapi pada akhirnya mempengaruhi dua aliran filsafat yang berbeda, idealisme dan positivisme. Keduanya sama-sama mencoret das Ding an sich. Sebagai akibatnya, idealisme yang menitikberatkan ‘subjek yang mengetahui’ dari pandangan Kant menganggap bahwa subjek dapat mengetahui sampai seakhir-akhirnya, membentuk realitasnya sendiri, dan karenanya, pengetahuan adalah realitas itu sendiri. Sedangkan positivisme, yang berkonsentrasi pada penyelidikan penampakan yang ditangkap subjek (fenomena) menganggap bahwa realitas adalah fenomena-fenomena semacam itu saja (bedanya dengan empirisme adalah positivisme bahkan tidak menerima pengalaman subjektif).
Dengan demikian, Kant menjadi filsuf yang selalu berada di persimpangan jalan. Ia merupakan pertemuan rasionalisme dan empirisme, sekaligus awal dari idealisme dan positivisme. Ia seolah-olah merupakan titik tengah dari huruf X yang menghubungkan lengan-lengan aliran filsafat rasionalisme, empirisme, idealisme, dan positivisme.
Wow..So this one suppose to be all about philosophy and in Bahasa instead?
ReplyDeleteTus..bisa di bikin Summary ga?beda kant dengan Idealisme?gue masih bingung..jadi bagi kant realitas itu apa?
ReplyDeletekemudian, positivisme itu justru mirip kayak empirisme pada tahap yang lebih extreme ya??dimana subjek tidak dibahas sama skali?
sori ron, gw ulang di sini lagi ya sedikit. yang soal idealisme saja. positivisme kalo dikait2in sama kant juga gw belum tau terlalu banyak soalnya.
ReplyDeletekasarnya,
bagi kant:
realitas: unsur aposteriori (das Ding an sich) + unsur apriori (dari subjek)
idealisme: radikalisasi di atas --> realitas murni dari subjek saja, meskipun subjeknya adalah Subjek Absolut
Subjek Absolut mengasingkan diri menjadi alam raya lalu mengenali dirinya melalui kesejarahan (otomatis manusia, karena makhluk yang menyejarah adalah manusia).