Thursday, April 14, 2011

Gayus, Malinda, dan Bukan Übermensch

Dalam tulisannya di rubrik Opini Kompas 9 April 2011, Toto Suparto menyatakan bahwa Gayus Tambunan dan Malinda Dee adalah Übermenschnya Nietzsche.

Pernyataan tersebut ceroboh dan jauh dari kebenaran.

Jika tujuannya adalah untuk mengaitkan Gayus dan Malinda dengan filsafat Nietzsche, justru akan lebih baik jika mereka dianggap Bukan Übermensch.

Tuhan yang Tidak Sama

Kita menyembah Tuhan yang sama. Pernyataan itu biasa penulis dengar tiap kali ada perselisihan atas nama agama. Yang mengucapkannya selalu orang-orang baik, yang berusaha mengembalikan wajah seorang saudara di benak orang yang bertikai saat melihat musuhnya yang berbeda agama. Tapi sebaik-baiknya pernyataan itu, ada juga bahaya yang terkandung di dasar asumsinya. Masalah dapat muncul saat disadari bahwa Tuhan memang tidak sama.

Friday, April 1, 2011

Filsafat Ketuhanan – SAP 2

1. Apa inti kritik agama Feuerbach?

Kritik Feuerbach berawal dari kritik terhadap pemikiran Hegel. Menurut Feuerbach, Hegel seakan-akan mengatakan bahwa yang nyata adalah Allah (roh semesta), sedangkan manusia hanyalah wayangnya. Padahal yang nyata dan kelihatan adalah manusia, bukan Allah. Allah adalah pikiran manusia, bukan sebaliknya. Inti dari kritik agama Feuerbach bersumber pada pengandaian ini, bahwa yang nyata adalah pengalaman inderawi dan bukan pikiran spekulatif.
Jadi, alih-alih Allah menciptakan manusia, manusialah yang menciptakan Allah. Allah dan agama adalah proyeksi hakekat manusia sendiri. Namun, manusia lupa pada kenyataan ini. Yang sebenarnya angan-angan, dianggap memiliki eksistensinya sendiri yang mandiri, sehingga manusia lalu menjadi takut dan menyembahnya. Jadi saat manusia menyembah Allah, sebenarnya ia sedang menyembah cerminan hakekatnya yang tidak ia sadari.
Dengan demikian, sesungguhnya agama menunjukkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Dalam agama, hakekat manusia dipisahkan dari dirinya dan diobjektifkan, dipandang, dan dipuja sebagai makhluk lain (hakekat ilahi).

2. Apa yang mau dikatakan Freud dengan menamakan agama sebagai ilusi infantil?

Dalam agama, manusia percaya pada dewa-dewa yang akan melindunginya dari segala kesusahan. Akan tetapi, sesungguhnya ini adalah sebuah ilusi karena dewa-dewa tidak ada. Manusia yakin bahwa ia dilindungi dewa-dewa bukan karena didukung kenyataan, tetapi karena ia menginginkannya supaya begitu.
Mengharapkan dengan naif agar apa yang diinginkan terpenuhi adalah ciri khas anak kecil. Anak kecil menghadapi masalah-masalah nyata tidak secara dewasa (dengan menerima, mencari jalan dengan kekuatan sendiri), melainkan dengan pikiran yang penuh harap.
Begitulah yang terjadi dalam agama. Dalam agama, manusia menghadapi masalah, tidak dengan dewasa, melainkan dengan pikiran penuh harap akan dewa-dewa yang akan menolong. Dalam agama, manusia berpegang pada ilusi akan dewa-dewa secara kekanak-kakanakan, sebagai sarana menghadapi masalah-masalah nyata. Oleh sebab itulah agama disebut sebagai ilusi infantil.

3. Mengapa Sartre berpendapat bahwa manusia tidak bebas kalau ada Allah?

Manusia tidak bebas kalau ada Allah karena dengan demikian kodrat manusia sudah ditentukan.
Sartre membedakan dua macam kenyataan, yang pertama berada pada dirinya sendiri dan yang kedua berada bagi dirinya sendiri. Manusia adalah pengada yang berada bagi dirinya sendiri. Eksistensinya mendahului esensinya, yang berarti ia tidak memiliiki suatu kodrat yang pasti untuk menentukan dirinya. Manusia benar-benar bebas dan tidak ditentukan. Dalam proyeksi diri melalui kebebasannya itulah, manusia sungguh menjadi.
Jika ada Allah, maka manusia kehilangan semua itu. Manusia akhirnya memiliki kodrat, suatu kerangka acuan atas mana ia diciptakan. Ia tidak dapat lagi dengan kebebasan totalnya menentukan kodratnya sendiri. Manusia berhenti menjadi pengada bagi dirinya sendiri dan menjadi pengada pada dirinya sendiri.

Filsafat Ketuhanan – SAP 1

1. Apa perbedaan antara filsafat ketuhanan dan teologi?

Teologi berbicara tentang iman dan Tuhan dari suatu sudut tertentu, yakni wahyu. Apa yang diimani dan dijalani dalam hidup menurut iman dilihat kesesuaiannya dengan wahyu sebagai sumber iman tersebut. Demikian juga halnya dengan Tuhan.
Wahyu adalah sumber kebenaran dalam teologi. Karena itu, setiap agama memiliki teologinya sendiri, dan setiap refleksi dan diskursus secara teologis hanya terjadi dalam orang-orang yang sudah menerima wahyu tertentu tersebut sebagai sumber kebenaran.

Filsafat ketuhanan berbicara tentang iman dan Tuhan tidak dari sudut-sudut tertentu, melainkan secara mendasar. Iman dan Tuhan dilihat dengan menggunakan nalar. Iman, misalnya, dengan demikian dapat dilihat dari sudut konsistensi logis antara ajaran-ajaran di dalam agama tersebut, kesesuaian ajaran dengan pengetahuan tentang dunia dan masyarakat, kemudian juga dapat dilihat dari sudut pengalaman batin. Demikian juga Tuhan. Kepercayaan tentang Tuhan dibicarakan secara rasional.
Nalar adalah sumber kebenaran dalam filsafat ketuhanan. Karena itu, refleksi dan diskursus dapat terjadi di antara orang-orang tanpa dibatasi keperluan mempercayai kebenaran suatu wahyu tertentu.

2. Apa yang dimaksud dengan perubahan dari paradigma teosentris ke paradigma antroposentris?

Perubahan paradigma teosentris ke paradigma antroposentris berarti perubahan suatu kerangka pikir dimana sebelumnya segala-galanya dipandang dari sudut Allah yang menciptakan, mengarahkan, mempertahankan, dan menyelamatkan manusia (theos = Allah, dan centrum = pusat), menjadi dari sudut manusia (anthropos = manusia), sehingga bahkan kemudian Tuhan pun dipertanyakan dari sudut manusia.
Perubahan ini terjadi pada abad ke-13 sampai dengan abad ke-17, dan ditandai dengan berbagai peristiwa. Di abad pertengahan, perubahan paradigma ini diawali dengan persaingan antara Kaisar dan Paus dan diterimanya filsafat Aristoteles sebagai kerangka filsafat utama Eropa Barat, yang memisahkan wilayah ‘dunia’ dan ‘ilahi’. Kemudian pada abad ke-14, cita-cita kemanusiaan Romawi dan Yunani pra-Kristiani kembali menyeruak dan mulai menempatkan manusia sebagai pusat perhatian, menggeser perspektif budaya yang ditentukan agama. Lalu, pada jaman Renaissance, kesadaran akan subjektivitas mencuat, ironisnya, di tengah kebangkitan kembali agama. Contohnya adalah Martin Luther yang melawan dominasi Gereja atas kehidupan religius umat dan menegaskan setiap orang berhak memahami sendiri Kitab Suci. Untuk pertama kali, manusia menjadi pusat dari keselamatannya sendiri.

3. Apa yang dimaksud dengan Deisme?

Deisme adalah paham dimana Allah menciptakan alam semesta berikut hukum-hukumnya lalu membiarkannya berjalan sendiri. Dengan demikian, Deisme mengandaikan harmonia praestabilisata, keselarasan yang sejak awal dipastikan. Allah seumpama pembuat jam yang sempurna, yang tidak perlu mengutak-atik jamnya lagi secara berkala setelah diciptakan karena jamnya sudah sempurna sejak dibuat dan tidak memerlukan diriNya untuk berjalan.
Implikasinya adalah:
-    hilangnya kegunaan berdoa karena segala sesuatu, termasuk situasi saat ini, sudah sempurna dan baik adanya, dan juga karena Allah tidak terlibat lagi dalam alam semesta ini
-    tidak adanya mukjizat karena alasan serupa, Allah tidak terlibat dan dekat lagi
-    tidak ada wahyu, juga karena Allah tidak terlibat lagi
Deisme membuka jalan untuk ateisme, karena jika Allah sudah dicoret dari hiruk pikuk alam semesta yang sekarang, tidak ada alasan kenapa peranNya di permulaan harus dipertahankan (dalam ateisme peran Allah dicoret seluruhnya).

4. Apa tiga tahap perkembangan intelektual manusia menurut Comte?

-    Tahap I: tahap teologis
Pada tahap ini, gejala-gejala alam dijelaskan sebagai hasil tindakan dewa atau kekuatan-kekuatan adi-duniawi lain, hasilnya adalah mitos dan agama.

-    Tahap II: tahap metafisik
Pada tahap ini, gejala-gejala alam dijelaskan sebagai hasil konsep-konsep dan prinsip-prinsip abstrak spekulasi filsafat, hasilnya adalah filsafat.

-    Tahap III: tahap positivisme
Pada tahap ini, gejala-gejala alam dijelaskan secara ilmiah, diamati dan ditemukan hubungannya dalam metode positif, hasilnya adalah ilmu pengetahuan.