Thursday, April 14, 2011

Tuhan yang Tidak Sama

Kita menyembah Tuhan yang sama. Pernyataan itu biasa penulis dengar tiap kali ada perselisihan atas nama agama. Yang mengucapkannya selalu orang-orang baik, yang berusaha mengembalikan wajah seorang saudara di benak orang yang bertikai saat melihat musuhnya yang berbeda agama. Tapi sebaik-baiknya pernyataan itu, ada juga bahaya yang terkandung di dasar asumsinya. Masalah dapat muncul saat disadari bahwa Tuhan memang tidak sama.

Di Indonesia, kesadaran akan Tuhan bukan saja lumrah, tapi juga mengakar kuat. Sedemikian kuat sehingga Tuhan dipahami sebagai realitas yang totok, keras, nyata tepat seperti yang dipercayai, padahal dalam kenyataannya ketuhanan sendiri adalah sesuatu yang cair. Perbedaan pendapat tentang Tuhan bukanlah suatu situasi dimana Tuhan melihat ke bawah, dimana ada orang yang dengan tepat menggambarkan diriNya sedangkan orang lain sama sekali salah. Perbedaan pendapat tentang Tuhan adalah situasi dimana orang-orang memandang ke atas dan menuturkan refleksi pribadi masing-masing akan Tuhan. Jadi, bukan Tuhanlah yang pasti (teosentris), melainkan manusialah yang pasti (antroposentris), pembicaraan akan Tuhan bukanlah sungguh pembicaraan tentang Tuhan, melainkan penghayatan manusia akan Tuhan.

Di awal bukunya Menalar Tuhan, Franz Magnis-Suseno menyajikan berbagai penghayatan umum akan Tuhan itu dengan baik.

Tuhan seperti yang dihayati kebanyakan orang beragama di Indonesia (penghayatan agama Abrahamik – Judaisme, Kristen, Islam) tentu bukanlah satu-satunya jenis penghayatan yang ada. Dalam penghayatan agama asli misalnya, Tuhan dihayati sebagai kekuatan yang meresapi alam, bahkan realitas alam itu sendiri. Musim, gagal panen, sampai segala kejadian yang menimpa manusia adalah ungkapan kekuatan tersebut. Tidak ada pemisahan antara yang alami dan ilahi. Dengan demikian, seluruh kegiatan dalam hidup manusia bernilai religius, karena dalam semuanya itu manusia selalu terhubung dengan yang ilahi. Pertanian itu religius, perkawinan itu religius, alam sendiri pun religius.

Kemudian, dalam keagamaan Tionghoa, Tuhan dihayati sebagai keselarasan kosmik. Keselamatan adalah tentang bagaimana menempatkan diri dalam keselarasan tersebut. Hal ini dicapai misalnya dengan mengatur diri dan masyarakat menurut pergerakan benda-benda langit yang mengungkapkan keselarasan kosmik itu sendiri.

Dalam agama Abrahamik sendiri, penghayatan ketuhanan paling tidak dicirikan dengan Tuhan yang personal (berkehendak, bertindak, meminati manusia, bandingkan Tuhan sebagai realitas alam), Tuhan yang hanya satu (tidak ada berbagai personifikasi terpisah), dan Tuhan sebagai yang lain (sama sekali tidak ditemukan dalam realitas ini, sehingga Ia dapat menciptakannya, bandingkan penghayatan lain yang tidak mengenal kisah penciptaan karena Tuhan adalah realitas ini).

Masih banyak penghayatan-penghayatan lain seperti yang ditemukan dalam Hinduisme, Buddhisme, dan Dualisme, yang sebagaimana sebelum-sebelumnya, juga berbeda satu sama lain.

Tetapi, perbedaan masih belum berhenti sampai di situ. Dalam satu keluarga yang selalu berbagi hidup dan beragama sama pun terjadi penghayatan ketuhanan yang berbeda. Perbedaan realitas hidup manusia secara pribadi mengakibatkan variasi penghayatan ketuhanan.

Sekarang masalahnya adalah, kesadaran akan perbedaan penghayatan ini tentunya tidak hanya muncul dalam wacana akademis. Siapapun dengan mudah menyadarinya meskipun tidak selalu mudah merumuskannya. Dan karenanya, pernyataan bahwa kita semua menyembah Tuhan yang sama sulit dimaknai sebagai kebenaran. Pernyataan tersebut seakan-akan mengatakan bahwa semua baju adalah sama padahal bentuk dan bahannya berbeda-beda. Tentu pernyataan itu tidak sepenuhnya salah. Terlepas dari bentuk dan bahannya, memang semuanya adalah baju (terlepas dari berbagai detilnya, semua penghayatan ketuhanan berbicara tentang dimensi kegaiban). Tetapi akan berbeda kiranya jika kita mempertimbangkan bahwa bentuk dan bahan baju adalah hal yang terpenting dari baju, misalnya kalau kita berniat mengenakannya.

Dan dalam perbedaan inilah pernyataan tadi menjadi berbahaya, apalagi jika didengungkan terus menerus menjadi nilai. Sebab di dalamnya ada asumsi bahwa perdamaian hanya dimungkinkan dengan persamaan (dalam hal ini Tuhan yang disembah). Sekarang jika sudah jelas bahwa Tuhan yang dihayati orang lain berbeda, maka ia bukan hanya terasingkan, tapi alasan untuk membina perdamaian dengannya juga lenyap. Ia bahkan bisa mendapat wajah baru, wajah iblis karena berdiri di luar Tuhan yang disembah. Kalau sudah menjadi iblis, ia dapat dengan mudah disakiti karena alasan-alasan mulia.

Lalu apa yang dapat dilakukan?

Terhadap situasi yang demikian, kita dapat mencoba membangun kesadaran baru. Cara yang pertama, seperti yang sering didengungkan penghayatan timur, adalah dengan mengangkat kesadaran kita sampai ke tahap dimana persamaan tidak lagi dibutuhkan untuk dapat mencintai. Akan tetapi, cara itu sulit dan memerlukan penghayatan tertentu. Lagipula, mencari persamaan sebagai dasar untuk membina perdamaian sebenarnya adalah hal yang wajar. Entah karena tendensi alamiah, pengertian karena kesamaan persepsi realitas, atau apapun, persamaan memang memudahkan perdamaian.

Oleh karena itu, mungkin usaha dibalik pernyataan itu tidak harus ditinggalkan. Kita harus mencari persamaan, tapi tidak di dalam penghayatan ketuhanan yang memang berbeda, melainkan di dalam manusia yang menghayatinya. Persamaan tidak ditemukan di tingkat Tuhan, tapi di tingkat manusia yang merefleksikan Tuhan. Semua orang adalah saudara dalam penghayatan akan Tuhan dengan caranya sendiri. Jadi, bahkan orang-orang ateis dan agnostik pun bukanlah musuh. Karena penolakan akan kegaiban atau kepercayaan bahwa Tuhan tidak dapat dicapai pun merupakan penghayatan pribadi akan Tuhan.

Dan, dengan kesadaran seperti itulah, pernyataan ‘Kita menyembah Tuhan yang sama’ akhirnya akan berubah menjadi ‘Kita sama-sama manusia yang berusaha menghayati Tuhan dengan cara pribadinya masing-masing’. Atau secara lebih ringkas, ‘Kita menyembah atau tidak menyembah Tuhan yang sama, memangnya kenapa?’

4 comments:

  1. Early morning article heh dude??hehehe...coba bayangkan, kalo berbicara dengan abrahamanistik keras, ketika lu bilang Tuhan kita berbeda, maka yang terbayang di benak mereka pasti bukan penghayatannya, melainkan sosoknya yang berbeda..rentan dianggap musuh juga..hahaha :D

    Berbeda yang pandangannya sudah "cair"...pandangan gue pribadi (ato kita mungkin) ada semacam perpaduan Tuhan yang "menyosok", "inkarnatif" (spesial maupun tidak), dan "panteistik"...sehingga memungkinkan kita berelasi dengan orang mana pun yang berkata "Tuhan bagi saya pribadi itu gini" dan kita menanggapinya dengan "Iya, saya memahami itu karena saya sebagian mengkhayatinya begitu"

    ReplyDelete
  2. ogh..ternyata u ngelink nya aja yang baru ya?tapi postnya udah lama..hahaha

    ReplyDelete
  3. Pandangan gue tetep kaya Feurbach, Bertus makanya kita nggak sama mandangnya :D

    ReplyDelete