Dalam tulisannya di rubrik Opini Kompas 9 April 2011, Toto Suparto menyatakan bahwa Gayus Tambunan dan Malinda Dee adalah Übermenschnya Nietzsche.
Pernyataan tersebut ceroboh dan jauh dari kebenaran.
Jika tujuannya adalah untuk mengaitkan Gayus dan Malinda dengan filsafat Nietzsche, justru akan lebih baik jika mereka dianggap Bukan Übermensch.
Dalam tulisan tersebut, Toto Suparto sampai pada pemikiran bahwa Gayus dan Malinda adalah Übermensch melalui perbandingan apa yang dipercayai sebagai sifat-sifat Übermensch dengan sifat-sifat kedua orang itu.
Übermensch dituliskan sebagai sejenis manusia yang menolak nilai-nilai transenden dan hanya berpegang pada nilai-nilai duniawi. Übermensch menyatakan Tuhan sudah mati sehingga tidak punya rasa kewajiban moral apapun.
Malinda dan Gayus juga seperti itu. Mereka mengabaikan yang baik sehingga Tuhan pasti sudah tidak dipikirkan. Dalam aksinya, mereka mengejar kenikmatan duniawi dengan mengumpulkan uang panas dan barang-barang mewah. Oleh karena itulah, mereka harus dihukum dengan hukuman duniawi sekeras-kerasnya, sesuai nilai keduniawian yang mereka pegang.
Übermenschnya Nietzsche
Meskipun terdapat beberapa loncatan asumsi yang fatal dalam pemikiran di atas (seperti asumsi penolakan ketuhanan pasti langsung berimplikasi pada hilangnya rasa kewajiban moral – banyak humanis bermoral justru ateis), tulisan ini tidak akan membahas asumsi-asumsi tersebut. Tulisan ini hanya akan sedikit menggambarkan apa itu Übermensch dan menilai ulang kaitannya dengan Gayus dan Malinda.
Übermensch sering diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi superman atau overman, berarti manusia yang mengatasi, melampaui. Übermensch adalah manusia yang dapat berkata ‘ya’ (Ja-Sagen) terhadap realitas. Filsafat tentang Übermensch lahir sebagai kritik terhadap agama (Kristianitas) di Eropa saat itu.
Agama bagi Nietzsche adalah tanda kepengecutan. Dalam agama, manusia tidak menghadapi masalah di dunia nyata dengan berani, melainkan lari kepada ilusi dan janji nilai-nilai transenden. Seluruh hidup dan masalahnya: penderitaan, kefanaan, dan lain-lain dimaknai menurut nilai-nilai itu. Penderitaan akan terbayar di surga, ia berharga karena ciptaan Tuhan, masalahnya akan diselesaikan Tuhan. Manusia terus berpegang pada jimat-jimat tidak nyata untuk bisa hidup daripada melepasnya dan menjadi dewasa. Ia lebih memilih menipu diri, tidak mau berhadapan dengan kekosongan nilai yang menakutkan. Karena itulah, manusia tidak mencapai seluruh potensi yang sebenarnya dimilikinya.
Zarathustra, tokoh yang ditulis Nietzsche untuk memperkenalkan gagasan Übermensch, mengatakan, “Manusia adalah sesuatu yang harus diatasi. Apakah yang telah kalian lakukan untuk mengatasinya?” Übermensch adalah perwujudan cita-cita yang dikandung pernyataan itu. Ia tidak lagi menggenggam nilai-nilai palsu dan keluar dari kenyamanan semu. Übermensch menghidupi realitas dunia sebagaimana adanya, bahkan ketika harus berhadapan dengan gelapnya kekosongan nilai yang menyertai. Ia berani mengatakan ‘ya’ terhadap hiruk pikuk hidup beserta segala kesedihan, kemalangan, kebingungan, juga kebahagiaannya.
Dari situ dapat kita lihat bahwa pernyataan mengerikan khas Übermensch ‘Tuhan sudah mati’ lebih menggambarkan suatu perspektif sejati akan realitas, tanda kebebasan manusia untuk menentukan diri dan menjadi penuh, dan usaha menyelamatkannya dari penolakan akan dunia dan hidup (dua hal yang dianggap diperangi ide ketuhanan dan nilai-nilai transenden). Pernyataan itu bukan suatu ajakan untuk tidak memedulikan moralitas dan bertindak semau-maunya.
Selain itu, dapat juga kita lihat Übermensch memiliki sifat-sifat keberanian, kekuatan, keteguhan, dan kedaulatan. Bandingkan dengan Bukan Übermensch yang memiliki sifat-sifat kepengecutan, kelemahan, dan kebudakan.
Gayus dan Malinda
Sekarang, jika gambaran Übermensch yang penulis uraikan di atas dibandingkan dengan Gayus dan Malinda, apa yang akan didapat?
Ya, Übermensch menolak ketuhanan. Tetapi ia melakukannya untuk menjalani hidup dengan berani, bertanggung jawab, dan dewasa, sesuai realitas hidup apa adanya. Sekarang apakah hal yang sama dapat kita padankan dengan Gayus dan Malinda (jika seandainyapun mereka memang menolak ketuhanan)?
Lalu ya, Übermensch berpegang pada realitas duniawi. Tetapi, istilah duniawi di sini tidak dapat disamakan dengan nilai-nilai hedonistik. Dengan berpegang pada realitas duniawi, Übermensch justru menunjukkan kesetiaan dan afirmasi jujur akan kenyataan ini beserta segala penderitaannya. Sekarang apakah hal yang sama dapat kita padankan dengan Gayus dan Malinda yang tampaknya masih tunduk di bawah nilai-nilai macam kekayaan, yang jauh lebih rendah dibandingkan nilai-nilai transenden yang sudah berani dilepas Übermensch?
Dan akhirnya, apakah gambaran manusia yang mengatasi, melampaui, cita-cita Nietzsche akan umat manusia yang luhur dan penuh dapat disamakan dengan dua orang kriminal karena kemiripan sekilas?
Tentu tidak.
Gayus dan Malinda bukanlah Übermensch. Bahkan, kalau Gayus dan Malinda masih tetap ingin dikait-kaitkan, mereka tampak lebih dekat dengan Bukan Übermensch.
Demi bangsa inilah, hukum memang harus ditegakkan dengan adil terhadap mereka. Ironisnya, kesanggupan untuk menjalankan keadilan itu membutuhkan keberanian yang luar biasa besar, tidak beda dengan yang sudah disebut-sebut di atas. Jangan-jangan bangsa ini malah membutuhkan Übermensch.
Pernyataan tersebut ceroboh dan jauh dari kebenaran.
Jika tujuannya adalah untuk mengaitkan Gayus dan Malinda dengan filsafat Nietzsche, justru akan lebih baik jika mereka dianggap Bukan Übermensch.
Dalam tulisan tersebut, Toto Suparto sampai pada pemikiran bahwa Gayus dan Malinda adalah Übermensch melalui perbandingan apa yang dipercayai sebagai sifat-sifat Übermensch dengan sifat-sifat kedua orang itu.
Übermensch dituliskan sebagai sejenis manusia yang menolak nilai-nilai transenden dan hanya berpegang pada nilai-nilai duniawi. Übermensch menyatakan Tuhan sudah mati sehingga tidak punya rasa kewajiban moral apapun.
Malinda dan Gayus juga seperti itu. Mereka mengabaikan yang baik sehingga Tuhan pasti sudah tidak dipikirkan. Dalam aksinya, mereka mengejar kenikmatan duniawi dengan mengumpulkan uang panas dan barang-barang mewah. Oleh karena itulah, mereka harus dihukum dengan hukuman duniawi sekeras-kerasnya, sesuai nilai keduniawian yang mereka pegang.
Übermenschnya Nietzsche
Meskipun terdapat beberapa loncatan asumsi yang fatal dalam pemikiran di atas (seperti asumsi penolakan ketuhanan pasti langsung berimplikasi pada hilangnya rasa kewajiban moral – banyak humanis bermoral justru ateis), tulisan ini tidak akan membahas asumsi-asumsi tersebut. Tulisan ini hanya akan sedikit menggambarkan apa itu Übermensch dan menilai ulang kaitannya dengan Gayus dan Malinda.
Übermensch sering diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi superman atau overman, berarti manusia yang mengatasi, melampaui. Übermensch adalah manusia yang dapat berkata ‘ya’ (Ja-Sagen) terhadap realitas. Filsafat tentang Übermensch lahir sebagai kritik terhadap agama (Kristianitas) di Eropa saat itu.
Agama bagi Nietzsche adalah tanda kepengecutan. Dalam agama, manusia tidak menghadapi masalah di dunia nyata dengan berani, melainkan lari kepada ilusi dan janji nilai-nilai transenden. Seluruh hidup dan masalahnya: penderitaan, kefanaan, dan lain-lain dimaknai menurut nilai-nilai itu. Penderitaan akan terbayar di surga, ia berharga karena ciptaan Tuhan, masalahnya akan diselesaikan Tuhan. Manusia terus berpegang pada jimat-jimat tidak nyata untuk bisa hidup daripada melepasnya dan menjadi dewasa. Ia lebih memilih menipu diri, tidak mau berhadapan dengan kekosongan nilai yang menakutkan. Karena itulah, manusia tidak mencapai seluruh potensi yang sebenarnya dimilikinya.
Zarathustra, tokoh yang ditulis Nietzsche untuk memperkenalkan gagasan Übermensch, mengatakan, “Manusia adalah sesuatu yang harus diatasi. Apakah yang telah kalian lakukan untuk mengatasinya?” Übermensch adalah perwujudan cita-cita yang dikandung pernyataan itu. Ia tidak lagi menggenggam nilai-nilai palsu dan keluar dari kenyamanan semu. Übermensch menghidupi realitas dunia sebagaimana adanya, bahkan ketika harus berhadapan dengan gelapnya kekosongan nilai yang menyertai. Ia berani mengatakan ‘ya’ terhadap hiruk pikuk hidup beserta segala kesedihan, kemalangan, kebingungan, juga kebahagiaannya.
Dari situ dapat kita lihat bahwa pernyataan mengerikan khas Übermensch ‘Tuhan sudah mati’ lebih menggambarkan suatu perspektif sejati akan realitas, tanda kebebasan manusia untuk menentukan diri dan menjadi penuh, dan usaha menyelamatkannya dari penolakan akan dunia dan hidup (dua hal yang dianggap diperangi ide ketuhanan dan nilai-nilai transenden). Pernyataan itu bukan suatu ajakan untuk tidak memedulikan moralitas dan bertindak semau-maunya.
Selain itu, dapat juga kita lihat Übermensch memiliki sifat-sifat keberanian, kekuatan, keteguhan, dan kedaulatan. Bandingkan dengan Bukan Übermensch yang memiliki sifat-sifat kepengecutan, kelemahan, dan kebudakan.
Gayus dan Malinda
Sekarang, jika gambaran Übermensch yang penulis uraikan di atas dibandingkan dengan Gayus dan Malinda, apa yang akan didapat?
Ya, Übermensch menolak ketuhanan. Tetapi ia melakukannya untuk menjalani hidup dengan berani, bertanggung jawab, dan dewasa, sesuai realitas hidup apa adanya. Sekarang apakah hal yang sama dapat kita padankan dengan Gayus dan Malinda (jika seandainyapun mereka memang menolak ketuhanan)?
Lalu ya, Übermensch berpegang pada realitas duniawi. Tetapi, istilah duniawi di sini tidak dapat disamakan dengan nilai-nilai hedonistik. Dengan berpegang pada realitas duniawi, Übermensch justru menunjukkan kesetiaan dan afirmasi jujur akan kenyataan ini beserta segala penderitaannya. Sekarang apakah hal yang sama dapat kita padankan dengan Gayus dan Malinda yang tampaknya masih tunduk di bawah nilai-nilai macam kekayaan, yang jauh lebih rendah dibandingkan nilai-nilai transenden yang sudah berani dilepas Übermensch?
Dan akhirnya, apakah gambaran manusia yang mengatasi, melampaui, cita-cita Nietzsche akan umat manusia yang luhur dan penuh dapat disamakan dengan dua orang kriminal karena kemiripan sekilas?
Tentu tidak.
Gayus dan Malinda bukanlah Übermensch. Bahkan, kalau Gayus dan Malinda masih tetap ingin dikait-kaitkan, mereka tampak lebih dekat dengan Bukan Übermensch.
Demi bangsa inilah, hukum memang harus ditegakkan dengan adil terhadap mereka. Ironisnya, kesanggupan untuk menjalankan keadilan itu membutuhkan keberanian yang luar biasa besar, tidak beda dengan yang sudah disebut-sebut di atas. Jangan-jangan bangsa ini malah membutuhkan Übermensch.
Setuju om...Itu yang nulis artikel kompas mengalami salah tafsir Nietzsche, harusnya baca karya asli Nietzsche dan berbagai macam tafsirannya dulu dan konsultasi sama ahli Nietzsche di Indonesia baru nulis tentang Übermensch. Nggakj siap kali dia sama Filsafat Palunya Nietzsche yang ngancurin berhala-berhala lama.
ReplyDeleteoo ini yang waktu itu lu pernah bilang ya. hehe udah ga langganan Kompas lagi, ga baca.
ReplyDeleteiya, tapi beliau sudah tidak pernah tulis di situ lagi.
ReplyDelete