I. Definisi:
1) Monisme: paham bahwa segala sesuatu adalah satu (bukan hanya kesatuan) dan kemajemukan adalah ilusi atau emanasi dari yang satu itu.
Dualisme: paham bahwa segala sesuatu berdasar atas dua prinsip yang saling tidak bergantung satu sama lain dan tidak mewujudkan keselarasan (saling berlawanan, berkonflik).
Panteisme: paham bahwa Yang Ilahi bersemayam dalam segala-galanya, sehingga Yang Ilahi bersifat imanen saja dan bukan transenden, substantif dan bukan personal (Allah adalah alam dan sebaliknya).
Deisme: paham bahwa Allah menciptakan dunia lalu meninggalkannya (karena Allah itu sempurna maka dunia yang dibuatNya dapat berjalan sendiri dengan baik seperti halnya seorang pembuat jam sempurna dan jam sempurna yang dibuatnya), atau dengan kata lain Allah menciptakan harmonia praestabilisata (keselarasan yang sejak semula sudah dipastikan), sehingga dengan demikian campur tangan Allah tidak ada (mukjizat tidak ada dan doa tidak ada gunanya).
2) Nihilisme: paham yang menegasikan satu atau lebih aspek-aspek hidup yang dipercayai dan dianggap bermakna, contohnya penolakan bahwa hidup memiliki makna dan tujuan, nilai moral itu ada, atau bahwa ilmu pengetahuan itu mungkin.
Agnostisisme: paham yang tidak mengakui rasionalitas wacana Tuhan, atau bahwa pernyataan tentang Tuhan dapat dihubungkan dengan klaim kebenaran, atau bahwa keagamaan dapat dipastikan secara objektif, sehingga keyakinan religius adalah kecenderungan pribadi yang tidak usah dibicarakan.
Materialisme: paham yang menganggap bahwa segala sesuatu adalah materi, tidak ada yang nyata selain materi, dan semua fenomena adalah hasil dari interaksi materi.
3) Kontingen: tidak dapat berdiri sendiri untuk menjadi nyata atau bernilai, membutuhkan yang lain di luar dirinya, terkondisi, bersyarat.
Mutlak: berdiri sendiri untuk menjadi nyata atau bernilai, tidak membutuhkan yang lain di luar dirinya, tidak terkondisi, tidak bersyarat.
Transenden: melampaui alam ciptaan atau yang terbatas.
Imanen: ada di mana-mana di dalam dunia, meresapi apapun yang ada.
Transendental: syarat kemungkinan suatu pengetahuan.
4) Pemakaian bahasa ekuivok:
Pemakaian bahasa yang sama dalam arti yang berbeda.
Pemakaian bahasa univok:
Pemakaian bahasa yang sama dalam arti yang sama.
Pemakaian bahasa analog:
Pemakaian bahasa yang sama dalam arti yang tidak sama sekali sama dan tidak sama sekali berbeda.
II. Pertanyaan:
1) Apa kritik agama Feuerbach dan bagaimana kritik itu dapat ditanggapi?
Kritik Feuerbach atas agama didasarkan atas pemikiran bahwa yang tak terbantah adalah realitas inderawi, bukan pikiran spekulatif tentang Tuhan. Jadi, titik tolak yang sah adalah manusia inderawi. Bukan Tuhan yang menciptakan manusia, melainkan manusia yang menciptakan Tuhan. Tuhan sesungguhnya adalah proyeksi hakekat yang dimiliki manusia, dan fenomena ini disebut agama. Dengan demikian, agama mengungkapkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri, karena ia tidak mengenali hakekatnya sendiri. Alih-alih mencoba merealisasikan hakekatnya, manusia secara pasif menyembah dan menggantungkan diri pada proyeksinya yang tidak nyata. Supaya manusia dapat menjadi dirinya, agama harus ditiadakan.
Tanggapan terhadap kritik ini dibagi menjadi tiga poin. Poin pertama adalah tidak pernahnya Feuerbach mempermasalahkan kebenaran agama pada dirinya sendiri, yaitu mempertanyakan apakah Allah sungguh ada atau tidak, terlepas dari apakah agama secara keseluruhan hanyalah proyeksi atau tidak.
Poin kedua adalah tidak dimilikinya satu ciri Tuhan (yang dianggap seluruhnya merupakan proyeksi hakekat manusia) oleh manusia sendiri, yaitu kemahaanNya.
Poin ketiga adalah tidak ditemukannya konsep maha dalam pengalaman empiris manusia, sehingga kalau Tuhan tidak ada bagaimana ia dapat memikirkannya?
2) Mengapa Sartre menolak Tuhan? Bagaimana penolakan itu dapat ditanggapi?
Sartre menolak Tuhan karena jika ada Tuhan, manusia tidak akan menjadi otentik, ia tidak lagi bebas dan dapat menentukan serta bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Jika ada Tuhan, manusia berubah dari pengada bagi dirinya sendiri menjadi pengada pada dirinya sendiri. Lagipula, Tuhan tidak mungkin ada karena Tuhan berada pada dirinya sendiri sekaligus berada bagi dirinya sendiri yang mana sebenarnya tidak dapat disatukan.
Tanggapan terhadap penolakan ini dapat dibagi atas tiga poin. Poin pertama adalah tidak tersainginya kebebasan manusia jika ada Tuhan. Tuhan bukanlah dalang yang menggerakkan manusia bak wayang. Tuhan justru memberdayakan manusia (lihat nomor 6).
Poin kedua adalah ketidaktepatan pengertian Sartre akan kebebasan. Kebebasan tidak berasal dari ketiadaan nilai dan acuan, nilai dan acuan tersebut justru mengandaikan kebebasan dan memberikan bobot terhadapnya. Jadi, kodrat manusia (yang kita miliki karena adanya Tuhan dan bagi Sartre mengubah kita menjadi pengada pada dirinya sendiri sekaligus menghilangkan kebebasan kita) justru memungkinkan dan memberi bobot pada kebebasan kita. Kodrat memungkinkan kita untuk mengambil sikap dan merupakan kondisi terhadapnya kita mengambil sikap.
Poin ketiga adalah anggapan bahwa berada pada dirinya sendiri dan berada bagi dirinya sendiri harus terpisah mutlak tidak masuk akal.
3) Bisakah diperlihatkan bahwa suara hati menunjuk pada adanya Tuhan?
Suara hati menunjuk kepada Tuhan melalui poin-poin berikut:
- Manusia memiliki suara hati yang adalah kesadaran moral manusia dalam situasi konkret.
- Suara hati ini berakar dari hati nurani, yakni keterarahan umum manusia pada yang baik.
- Suara hati dapat keliru karena ia melibatkan peran nalar dalam menentukan apa yang baik secara konkret, tapi tuntutan dan keterarahannya pada yang baik bersifat mutlak.
- Kewajiban mutlak ini tidak berasal dari dunia karena suara hati selalu mengkaji dunia dengan bebas, tidak terikat. Ia juga tidak berasal dari dalam diri karena kita sendiri tidak berkuasa mencabutnya.
- Dengan demikian, suara hati adalah respon terhadap sesuatu yang transenden.
- Realitas transenden itu bersifat mutlak, personal, dan suci (karena kita dapat merasa malu dan bersalah terhadapnya).
- Realitas inilah yang kita sebut dengan Tuhan.
4) Mengapa paham Deisme tentang penciptaan tidak memadai?
Deisme tidak dapat dipertahankan karena jika dunia dapat terus bereksistensi sendiri setelah diciptakan Tuhan maka sebenarnya ia adalah mutlak dan dengan demikian tidak perlu diciptakan, bahkan tidak dapat diciptakan karena keberadaannya adalah akibat hakekatnya sendiri. Lagipula, dunia sebenarnya tidak mutlak karena berada di bawah hukum perubahan dan waktu.
5) Mengapa Tuhan bersifat transenden maupun imanen terhadap ciptaanNya?
Tuhan bersifat transenden sekaligus imanen terhadap ciptaanNya karena adanya penciptaan menunjukkan bahwa Tuhan bersifat transenden, Ia bebas untuk menciptakan atau tidak menciptakannya, sekaligus juga imanen karena ciptaanNya hanya terus ada karena selalu dilangsungkan oleh Tuhan sehingga Tuhan ada di segenap dunia.
6) Bisakah diperlihatkan bahwa kemahakuasaan Tuhan tidak menindas/menghapus kebebasan manusia?
Kemahakuasaan Tuhan tidak menghapus kebebasan manusia dapat ditunjukkan melalui transendensi dan imanensi Tuhan dalam ciptaan. Dua hal tersebut menunjukkan Tuhan tidak bersaing dengan kita karena Ia tidak berada di dataran yang sama. Bahkan, semakin tinggi eksistensi suatu ciptaan, semakin ia tergantung pada Tuhan, karena eksistensinya yang semakin tinggi itu membutuhkan pelangsungan oleh Tuhan yang semakin besar pula (Tuhan memberdayakan ciptaan). Eksistensi yang semakin tinggi pada suatu ciptaan berarti semakin besarnya kebebasan suatu ciptaan untuk menentukan diri. Dengan demikian, semakin besarnya kebebasan justru menunjukkan semakin besarnya kemahakuasaan Tuhan yang melangsungkannya.
1) Monisme: paham bahwa segala sesuatu adalah satu (bukan hanya kesatuan) dan kemajemukan adalah ilusi atau emanasi dari yang satu itu.
Dualisme: paham bahwa segala sesuatu berdasar atas dua prinsip yang saling tidak bergantung satu sama lain dan tidak mewujudkan keselarasan (saling berlawanan, berkonflik).
Panteisme: paham bahwa Yang Ilahi bersemayam dalam segala-galanya, sehingga Yang Ilahi bersifat imanen saja dan bukan transenden, substantif dan bukan personal (Allah adalah alam dan sebaliknya).
Deisme: paham bahwa Allah menciptakan dunia lalu meninggalkannya (karena Allah itu sempurna maka dunia yang dibuatNya dapat berjalan sendiri dengan baik seperti halnya seorang pembuat jam sempurna dan jam sempurna yang dibuatnya), atau dengan kata lain Allah menciptakan harmonia praestabilisata (keselarasan yang sejak semula sudah dipastikan), sehingga dengan demikian campur tangan Allah tidak ada (mukjizat tidak ada dan doa tidak ada gunanya).
2) Nihilisme: paham yang menegasikan satu atau lebih aspek-aspek hidup yang dipercayai dan dianggap bermakna, contohnya penolakan bahwa hidup memiliki makna dan tujuan, nilai moral itu ada, atau bahwa ilmu pengetahuan itu mungkin.
Agnostisisme: paham yang tidak mengakui rasionalitas wacana Tuhan, atau bahwa pernyataan tentang Tuhan dapat dihubungkan dengan klaim kebenaran, atau bahwa keagamaan dapat dipastikan secara objektif, sehingga keyakinan religius adalah kecenderungan pribadi yang tidak usah dibicarakan.
Materialisme: paham yang menganggap bahwa segala sesuatu adalah materi, tidak ada yang nyata selain materi, dan semua fenomena adalah hasil dari interaksi materi.
3) Kontingen: tidak dapat berdiri sendiri untuk menjadi nyata atau bernilai, membutuhkan yang lain di luar dirinya, terkondisi, bersyarat.
Mutlak: berdiri sendiri untuk menjadi nyata atau bernilai, tidak membutuhkan yang lain di luar dirinya, tidak terkondisi, tidak bersyarat.
Transenden: melampaui alam ciptaan atau yang terbatas.
Imanen: ada di mana-mana di dalam dunia, meresapi apapun yang ada.
Transendental: syarat kemungkinan suatu pengetahuan.
4) Pemakaian bahasa ekuivok:
Pemakaian bahasa yang sama dalam arti yang berbeda.
Pemakaian bahasa univok:
Pemakaian bahasa yang sama dalam arti yang sama.
Pemakaian bahasa analog:
Pemakaian bahasa yang sama dalam arti yang tidak sama sekali sama dan tidak sama sekali berbeda.
II. Pertanyaan:
1) Apa kritik agama Feuerbach dan bagaimana kritik itu dapat ditanggapi?
Kritik Feuerbach atas agama didasarkan atas pemikiran bahwa yang tak terbantah adalah realitas inderawi, bukan pikiran spekulatif tentang Tuhan. Jadi, titik tolak yang sah adalah manusia inderawi. Bukan Tuhan yang menciptakan manusia, melainkan manusia yang menciptakan Tuhan. Tuhan sesungguhnya adalah proyeksi hakekat yang dimiliki manusia, dan fenomena ini disebut agama. Dengan demikian, agama mengungkapkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri, karena ia tidak mengenali hakekatnya sendiri. Alih-alih mencoba merealisasikan hakekatnya, manusia secara pasif menyembah dan menggantungkan diri pada proyeksinya yang tidak nyata. Supaya manusia dapat menjadi dirinya, agama harus ditiadakan.
Tanggapan terhadap kritik ini dibagi menjadi tiga poin. Poin pertama adalah tidak pernahnya Feuerbach mempermasalahkan kebenaran agama pada dirinya sendiri, yaitu mempertanyakan apakah Allah sungguh ada atau tidak, terlepas dari apakah agama secara keseluruhan hanyalah proyeksi atau tidak.
Poin kedua adalah tidak dimilikinya satu ciri Tuhan (yang dianggap seluruhnya merupakan proyeksi hakekat manusia) oleh manusia sendiri, yaitu kemahaanNya.
Poin ketiga adalah tidak ditemukannya konsep maha dalam pengalaman empiris manusia, sehingga kalau Tuhan tidak ada bagaimana ia dapat memikirkannya?
2) Mengapa Sartre menolak Tuhan? Bagaimana penolakan itu dapat ditanggapi?
Sartre menolak Tuhan karena jika ada Tuhan, manusia tidak akan menjadi otentik, ia tidak lagi bebas dan dapat menentukan serta bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Jika ada Tuhan, manusia berubah dari pengada bagi dirinya sendiri menjadi pengada pada dirinya sendiri. Lagipula, Tuhan tidak mungkin ada karena Tuhan berada pada dirinya sendiri sekaligus berada bagi dirinya sendiri yang mana sebenarnya tidak dapat disatukan.
Tanggapan terhadap penolakan ini dapat dibagi atas tiga poin. Poin pertama adalah tidak tersainginya kebebasan manusia jika ada Tuhan. Tuhan bukanlah dalang yang menggerakkan manusia bak wayang. Tuhan justru memberdayakan manusia (lihat nomor 6).
Poin kedua adalah ketidaktepatan pengertian Sartre akan kebebasan. Kebebasan tidak berasal dari ketiadaan nilai dan acuan, nilai dan acuan tersebut justru mengandaikan kebebasan dan memberikan bobot terhadapnya. Jadi, kodrat manusia (yang kita miliki karena adanya Tuhan dan bagi Sartre mengubah kita menjadi pengada pada dirinya sendiri sekaligus menghilangkan kebebasan kita) justru memungkinkan dan memberi bobot pada kebebasan kita. Kodrat memungkinkan kita untuk mengambil sikap dan merupakan kondisi terhadapnya kita mengambil sikap.
Poin ketiga adalah anggapan bahwa berada pada dirinya sendiri dan berada bagi dirinya sendiri harus terpisah mutlak tidak masuk akal.
3) Bisakah diperlihatkan bahwa suara hati menunjuk pada adanya Tuhan?
Suara hati menunjuk kepada Tuhan melalui poin-poin berikut:
- Manusia memiliki suara hati yang adalah kesadaran moral manusia dalam situasi konkret.
- Suara hati ini berakar dari hati nurani, yakni keterarahan umum manusia pada yang baik.
- Suara hati dapat keliru karena ia melibatkan peran nalar dalam menentukan apa yang baik secara konkret, tapi tuntutan dan keterarahannya pada yang baik bersifat mutlak.
- Kewajiban mutlak ini tidak berasal dari dunia karena suara hati selalu mengkaji dunia dengan bebas, tidak terikat. Ia juga tidak berasal dari dalam diri karena kita sendiri tidak berkuasa mencabutnya.
- Dengan demikian, suara hati adalah respon terhadap sesuatu yang transenden.
- Realitas transenden itu bersifat mutlak, personal, dan suci (karena kita dapat merasa malu dan bersalah terhadapnya).
- Realitas inilah yang kita sebut dengan Tuhan.
4) Mengapa paham Deisme tentang penciptaan tidak memadai?
Deisme tidak dapat dipertahankan karena jika dunia dapat terus bereksistensi sendiri setelah diciptakan Tuhan maka sebenarnya ia adalah mutlak dan dengan demikian tidak perlu diciptakan, bahkan tidak dapat diciptakan karena keberadaannya adalah akibat hakekatnya sendiri. Lagipula, dunia sebenarnya tidak mutlak karena berada di bawah hukum perubahan dan waktu.
5) Mengapa Tuhan bersifat transenden maupun imanen terhadap ciptaanNya?
Tuhan bersifat transenden sekaligus imanen terhadap ciptaanNya karena adanya penciptaan menunjukkan bahwa Tuhan bersifat transenden, Ia bebas untuk menciptakan atau tidak menciptakannya, sekaligus juga imanen karena ciptaanNya hanya terus ada karena selalu dilangsungkan oleh Tuhan sehingga Tuhan ada di segenap dunia.
6) Bisakah diperlihatkan bahwa kemahakuasaan Tuhan tidak menindas/menghapus kebebasan manusia?
Kemahakuasaan Tuhan tidak menghapus kebebasan manusia dapat ditunjukkan melalui transendensi dan imanensi Tuhan dalam ciptaan. Dua hal tersebut menunjukkan Tuhan tidak bersaing dengan kita karena Ia tidak berada di dataran yang sama. Bahkan, semakin tinggi eksistensi suatu ciptaan, semakin ia tergantung pada Tuhan, karena eksistensinya yang semakin tinggi itu membutuhkan pelangsungan oleh Tuhan yang semakin besar pula (Tuhan memberdayakan ciptaan). Eksistensi yang semakin tinggi pada suatu ciptaan berarti semakin besarnya kebebasan suatu ciptaan untuk menentukan diri. Dengan demikian, semakin besarnya kebebasan justru menunjukkan semakin besarnya kemahakuasaan Tuhan yang melangsungkannya.
No comments:
Post a Comment