Wednesday, December 7, 2011

Membaptis dengan Roh Kudus (Markus 1:1-8)

Again, censored, although not as brutal as previously. Still, I decided to post the original article anyway.

Yohanes Pembaptis sering dikatakan sebagai pendahulu Yesus, sang Mesias. Ia mempersiapkan kedatangan Yesus dengan menyerukan pertobatan dan membaptis orang-orang. Orang-orang yang sudah dibaptis bersatu menjadi satu kelompok dan menantikan sang Mesias.

Akan tetapi, apakah yang dapat diharapkan dari Mesias itu?

Yohanes Pembaptis berkata, "Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus" (ayat 8). Baptisan air merupakan awal yang disiapkan oleh Yohanes Pembaptis dimana orang-orang merespon dengan tindakan etis: menjadi anggota dan setia terhadap perkumpulan, mengucapkan kata-kata deklarasi, dan melakukan tindakan-tindakan terpuji. Namun, akan datang baptisan dengan Roh Kudus, suatu hal yang jauh lebih fundamental, dimana orang-orang tidak lagi memasuki suatu kelompok melainkan memasuki dirinya sendiri. Dalam baptisan Roh Kudus diperoleh suatu kesadaran baru akan sejatinya aku, apa sejatinya Allah, dan hubungan antara aku dan Allah itu. Dengan baptisan Roh Kudus, hal-hal yang sebelumnya (keanggotaan dan kesetiaan dalam suatu perkumpulan, pengucapan kata-kata deklarasi, dan rangkaian tindakan yang terpuji) baru menjadi berarti dengan sendirinya, sebab akhirnya mereka sungguh dijalankan dari suatu diri yang sadar.

Yohanes Pembaptis menyediakan suatu awal yang baik untuk menuju apa yang Mesias tawarkan. Maka dari itulah kita tidak boleh lupa untuk mengarahkan perhatian ke apa yang Mesias sudah tawarkan itu, suatu kesadaran diri yang baru. Sebagaimana apa yang dikatakan John Main OSB, seorang rahib Benedektin-pelopor gerakan Meditasi Kristiani tentang kesadaran diri tersebut, "Mengalami sebagaimana Yesus mengalami, menyadari sebagaimana Yesus menyadari, melihat sebagaimana Yesus melihat, memahami sebagaimana Yesus memahami, dan mengasihi sebagaimana Yesus mengasihi." Pada akhirnya kita diajak untuk menjadi serupa dengan Mesias secara hakiki. (Hubertus Hosti Ps dan Hubertus Moerdianta Ps)

Tentang Membayar Pajak kepada Kaisar: Allah bukan Saingan Kaisar (Matius 22:15-22)

Since most of it got brutally censored, I decided to post the original article instead.

Dalam bacaan Injil hari ini, ketika murid-murid orang-orang Farisi dan orang-orang Herodian bertanya pada Yesus tentang keharusan membayar pajak, Ia dihadapkan pada suatu jebakan yang sulit (ayat 15, 16). Jika Yesus menjawab pajak harus dibayarkan pada penjajah Romawi, orang-orang Farisi akan menganggap Yesus anti perjuangan kebebasan bangsa Yahudi - umat pilihan Allah. Jika Yesus menjawab sebaliknya, maka orang-orang Herodian yang pro pendudukan Romawilah yang akan menangkapNya. Tetapi, Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu dan memberikan jawaban yang membuat mereka heran, "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." (ayat 21)

Sekilas, jawaban tersebut hanya seperti menunjukkan kepiawaian Yesus keluar dari jebakan. Namun, jawaban itu sesungguhnya menunjukkan bagaimana Yesus mengangkat permasalahan yang hanya berkisar di pertentangan kewajiban ke perbedaan pengertian siapa itu Allah sebenarnya. Perbedaan pengertian itulah yang membuat pertanyaan yang diajukan pada Yesus seakan-akan dilematis padahal seharusnya tidak. Dilema dari pertanyaan tersebut berakar dari pengertian bahwa Allah dan Kaisar adalah dua hal yang berlawanan, kepatuhan pada aturan Kaisar dengan kesetiaan pada Allah. Namun bagi Yesus, memberikan apa yang wajib diberikan kepada Kaisar dan kepada Allah secara berbarengan tidak ditunjukkan sebagai sesuatu yang tidak mungkin (bdk ayat 21). Hal ini karena Allah yang diperkenalkan Yesus tidak sama dengan anggapan para penanyaNya. Allah bukanlah dewa kecil yang hanya memihak bangsa Yahudi dan memusuhi Kaisar Romawi karena menjajah bangsa pilihanNya. Allah adalah sesuatu yang jauh lebih besar, jauh lebih dasariah, dan karenanya jauh lebih dekat dan melingkupi kita semua. Ia bukanlah saingan Kaisar, struktur pemerintahan, ataupun sekedar objek anggota dunia. Allah adalah sesuatu yang meresapi kita dan semesta, dan dengan demikian mengamini segala hal yang kita alami ketika hidup dalam semesta ini. Kesadaran yang demikian itu akan mengantar ke suatu perubahan fundamental dalam cara beriman. Sebagaimana Allah sendiri mengamini hidup dan dunia, orang yang beriman dengan cara yang demikian juga akan menganggap hidup sebagai sesuatu yang relevan, menerima pengalaman sakit dan penderitaan, serta tidak menolak hidup dan hiruk pikuknya di dunia. Semua karena baginya Allah adalah dasar dirinya dan semesta itu sendiri, Allah bukan saingan Kaisar. (Hubertus Hosti Ps dan Hubertus Moerdianta Ps)