Friday, April 1, 2011

Filsafat Ketuhanan – SAP 2

1. Apa inti kritik agama Feuerbach?

Kritik Feuerbach berawal dari kritik terhadap pemikiran Hegel. Menurut Feuerbach, Hegel seakan-akan mengatakan bahwa yang nyata adalah Allah (roh semesta), sedangkan manusia hanyalah wayangnya. Padahal yang nyata dan kelihatan adalah manusia, bukan Allah. Allah adalah pikiran manusia, bukan sebaliknya. Inti dari kritik agama Feuerbach bersumber pada pengandaian ini, bahwa yang nyata adalah pengalaman inderawi dan bukan pikiran spekulatif.
Jadi, alih-alih Allah menciptakan manusia, manusialah yang menciptakan Allah. Allah dan agama adalah proyeksi hakekat manusia sendiri. Namun, manusia lupa pada kenyataan ini. Yang sebenarnya angan-angan, dianggap memiliki eksistensinya sendiri yang mandiri, sehingga manusia lalu menjadi takut dan menyembahnya. Jadi saat manusia menyembah Allah, sebenarnya ia sedang menyembah cerminan hakekatnya yang tidak ia sadari.
Dengan demikian, sesungguhnya agama menunjukkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Dalam agama, hakekat manusia dipisahkan dari dirinya dan diobjektifkan, dipandang, dan dipuja sebagai makhluk lain (hakekat ilahi).

2. Apa yang mau dikatakan Freud dengan menamakan agama sebagai ilusi infantil?

Dalam agama, manusia percaya pada dewa-dewa yang akan melindunginya dari segala kesusahan. Akan tetapi, sesungguhnya ini adalah sebuah ilusi karena dewa-dewa tidak ada. Manusia yakin bahwa ia dilindungi dewa-dewa bukan karena didukung kenyataan, tetapi karena ia menginginkannya supaya begitu.
Mengharapkan dengan naif agar apa yang diinginkan terpenuhi adalah ciri khas anak kecil. Anak kecil menghadapi masalah-masalah nyata tidak secara dewasa (dengan menerima, mencari jalan dengan kekuatan sendiri), melainkan dengan pikiran yang penuh harap.
Begitulah yang terjadi dalam agama. Dalam agama, manusia menghadapi masalah, tidak dengan dewasa, melainkan dengan pikiran penuh harap akan dewa-dewa yang akan menolong. Dalam agama, manusia berpegang pada ilusi akan dewa-dewa secara kekanak-kakanakan, sebagai sarana menghadapi masalah-masalah nyata. Oleh sebab itulah agama disebut sebagai ilusi infantil.

3. Mengapa Sartre berpendapat bahwa manusia tidak bebas kalau ada Allah?

Manusia tidak bebas kalau ada Allah karena dengan demikian kodrat manusia sudah ditentukan.
Sartre membedakan dua macam kenyataan, yang pertama berada pada dirinya sendiri dan yang kedua berada bagi dirinya sendiri. Manusia adalah pengada yang berada bagi dirinya sendiri. Eksistensinya mendahului esensinya, yang berarti ia tidak memiliiki suatu kodrat yang pasti untuk menentukan dirinya. Manusia benar-benar bebas dan tidak ditentukan. Dalam proyeksi diri melalui kebebasannya itulah, manusia sungguh menjadi.
Jika ada Allah, maka manusia kehilangan semua itu. Manusia akhirnya memiliki kodrat, suatu kerangka acuan atas mana ia diciptakan. Ia tidak dapat lagi dengan kebebasan totalnya menentukan kodratnya sendiri. Manusia berhenti menjadi pengada bagi dirinya sendiri dan menjadi pengada pada dirinya sendiri.

No comments:

Post a Comment