Herakleitos
Ada
Herakleitos berbicara tentang kosmos yang merupakan suatu kesatuan. Ia menunjukkan hal tersebut, beserta juga dengan sifat spesifiknya melalui berbagai fragmen.
Dalam fragmen-fragmen DK 22 B1 dan 50, kesatuan tersebut ditunjukkan melalui logos yang bisa juga berarti penyebab utama segala sesuatu. Dalam hal ini, semua hal ditopang oleh logos. Ia menjadi prinsip dari semua hal, sesuatu yang sangat umum, dasariah, dan selalu hadir di dalam segala adaan dan pergerakannya meskipun tidak mesti dikenali (kaum Stoik, yang menganggap Herakleitos sebagai pendahulunya mengartikan logos sebagai prinsip kausal rasional yang menyerapi dan mengatur dunia).1
Selain diatur oleh logos, Herakleitos juga menggambarkan kesatuan dunia sebagai api yang dinamis. Segala fenomena disatukan melalui api yang bersifat seperti emas atau alat tukar. Hal ini ditunjukkan melalui fragmen-fragmen DK 22 B30, 90, serta 31a dan b.
Pemilihan Herakleitos atas api mungkin juga dikarenakan sifatnya yang dinamis dan menghasilkan perubahan yang mudah terlihat ketika menjadikan cahaya dan panas dari benda yang dibakarnya.2
Kemudian, dalam fragmen-fragmen DK 22 B91, 49a, dan 12, ditunjukkan bahwa segala sesuatu selalu berada dalam gerak perubahan. Oleh karena itulah, kita tidak dapat menginjakkan kaki di sungai yang sama dua kali, karena bukan hanya sungainya yang berubah, tetapi kitanya juga sudah berubah.3
Dan terakhir, kesatuan kosmos digambarkan Herakleitos justru melalui perlawanan. Dalam hal yang berlawanan ditemukan kesatuan dan harmoni (DK 22 B61, 67, 60, 9, dan 111). Dalam fragmen DK 22 B61, misalnya, dituliskan tentang air laut yang dapat membunuh maupun menghidupkan. Kedua sifat yang bertentangan ini sebenarnya membicarakan tentang hal yang satu, yang dalam perspektif logos (yang lebih tinggi) memang akan tampak sebagai satu. Dengan demikian, perlawanan pun menunjukkan kesatuan kosmos, kesatuan yang di dalamnya ada harmoni dari ketegangan, seperti harmoni senar yang tegang ditarik dari kedua sisi (DK 22 B51 dan 80).4
Pengetahuan
Pengetahuan bagi Herakleitos tampaknya terbagi paling tidak menjadi dua. Pengetahuan tidak hanya terdiri dari yang faktual atau yang praktis saja, tetapi juga, terutama, yang terkait dengan logos.5 Dalam fragmen DK 22 B40, Herakleitos menyatakan bahwa pengetahuan yang faktual dan praktis saja (seperti yang diperoleh dari Hesiodos, Pythagoras, dan Xenophanes) tidaklah cukup untuk intelek supaya berpikir secara benar. Juga, dalam DK22 B1 dan 2, ia menunjukkan pentingnya pengetahuan yang sejajar dengan logos dan sekaligus sulitnya pengetahuan tersebut didapat meskipun logos meresapi dan mengatur segala sesuatu.
Hanya dengan pengetahuan yang searah dengan logos ini, intelek dapat berpikir secara benar, dan dapat mengenali hakekat kosmos beserta sifatnya seperti yang telah ditunjukkan dalam penjelasan sebelumnya (kesatuan, perubahan, dan lain-lain).
Manusia
Dalam DK 59 B20, dan DK 22 B88, Herakleitos menggambarkan manusia sebagai bagian dari kosmos dan termasuk dalam perubahan yang menjadi sifat dasarnya. Manusia mengalami kehidupan dan kematian dalam siklus yang senada dengan siklus kosmos.6
Kemudian dalam DK 22 B62, Herakleitos mengatakan bahwa manusia adalah abadi, justru dengan kehidupan dan kematiannya, tidak seperti para dewa yang tidak abadi. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh karena keabadian bagi Herakleitos bukanlah sekedar ketidakberhentian/ketetapan mengada. Seperti yang sudah ditunjukkan dalam fragmen-fragmennya, Herakleitos menganggap penting perubahan sebagai sifat dasar kosmos. Di sini, perubahan tidak lagi hanya menjadi suatu sifat belaka, melainkan juga dasar suatu hal bisa dikatakan permanen. Dan kalau keabadian lantas diterjemahkan sebagai hal yang permanen semacam ini, memang sungguh manusialah yang memiliki keabadian, bukan para dewa. Manusia mengalami perubahan kondisi yang terus menerus, sesuatu yang para dewa tidak alami.
Platon
Ada
Filsafat Platon berpusat dari idea. Idea adalah citra pokok dan perdana dari realitas.7 Meskipun demikian, idea tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang bersifat subjektif. Idea bersifat objektif, dan dengan demikian berdiri di luar pemikirnya.
Berdasarkan idea ini, Platon membagi realitas menjadi dua. Yang pertama adalah realitas sensibel yang hanya dapat ditangkap dengan panca indera, dan realitas inteligibel yang hanya dapat ditangkap dengan rasio. Perbedaan dari keduanya adalah dalam hal kekekalan dan jumlah. Realitas sensibel selalu berada dalam perubahan dan bersifat plural. Realitas inteligibel, sebaliknya, bersifat kekal dan tunggal. Melalui pandangannya ini, Platon berhasil mendamaikan pertentangan filsafat prasokratik antara Herakleitos dan Parmenides. Semua hal memang berubah (di dalam realitas sensibel), dan semua hal memang tetap (di dalam realitas inteligibel).
Perlu diingat bahwa realitas inteligibel bukanlah dunia. Ia bukanlah tempat yang berisi kuda ideal, manusia ideal, atau tempat tidur ideal. Realitas inteligibel dapat dibayangkan hanya berisi Ada, Gerak, Sama, Diam, dan Beda.8 Kesemuanya itu berguna sebagai cakrawala bagi kita untuk menangkap realitas sensibel, suatu cara untuk mengatur dunia inderawi. Jadi misalnya, sebuah kursi dapat dikenali sebagai kursi karena ia sama/diam dengan dirinya sendiri dalam beda/gerak perubahan dengan benda lainnya.
Pengetahuan
Berdasarkan penjelasan di atas, dimungkinkan dua jenis pengenalan, yaitu episteme dan doxa.9 Episteme merupakan pengenalan akan realitas inteligibel. Ia merupakan pengenalan yang sebenarnya, teguh, jelas, dan tidak berubah (sesuai sifat hal yang dikenalinya, yaitu idea). Alat yang memungkinkannya adalah rasio.
Episteme dapat dibagi lagi menjadi dua, noesis dan dianoia. Noesis adalah pengetahuan yang paling tinggi, rasio intuitif, pengetahuan tentang prinsip inteligibel. Dianoia adalah rasio diskursif, berasal dari analisis unsur-unsur argumentatif.
Doxa juga dapat dibagi menjadi dua, pistis dan eikasia. Pistis merupakan pengetahuan atas benda-benda inderawi dan menghasilkan kepercayaan-kepercayaan belaka. Eikasia, pengetahuan yang paling rendah, merupakan pengetahuan atas bayang-bayang benda-benda inderawi sehingga hanya menghasilkan konjektur atau pengertian yang sifatnya dugaan saja.
Dalam ceritanya tentang gua, kita dapat melihat bahwa manusia diharapkan untuk melepaskan diri dari bayang-bayang tadi, melihat dan mengerti akan benda-benda yang sesungguhnya menciptakan bayang-bayang tadi, bahkan melangkah keluar dan melihat matahari, yang merupakan simbol dari idea ‘yang baik’.
Manusia
Manusia menurut Platon, juga digambarkan seperti ia menggambarkan realitas. Terdapat dualisme dalam manusia, yakni jiwa dan tubuh (yang tidak boleh dianggap sebagai alat saja).
Jiwa terletak di antara realitas inteligibel dan sensibel. Bagian imortal dari jiwa menyerupai idea (yang rasional), sedangkan bagian mortalnya menyerupai yang sensibel (yang irasional).
Meskipun demikian, dalam tulisan selanjutnya, pembagian ini dikhususkan lagi. Kali ini, jiwa dibagi menjadi tiga, yakni jiwa imortal (nous, dianoia, logistikon, logos) dan jiwa mortal yang dapat dibagi menjadi dua lagi, thumos (appetitus) dan epithumia (concupiscentia).10 Ketiga bagian ini memiliki keutamaannya sendiri-sendiri.
Jiwa imortal adalah bagian jiwa yang mengikuti logos. Dalam tubuh, ia adalah kepala manusia. Keutamaannya adalah kebijaksanaan (sophia, sapientia).
Thumos adalah bagian jiwa yang tidak mengikuti logos. Tempatnya adalah antara leher dan diafragma (jantung). Keutamaannya adalah kegagahan, keberanian, keteguhan hati (andreia, fortitudo).
Epithumia adalah bagian jiwa yang juga tidak mengikuti logos. Tempatnya adalah diafragma ke bawah (perut, ginjal ke bawah). Keutamaannya adalah ugahari (sophrasune) yang mengatur nafsu-nafsu yang tidak beraturan.
Keutamaan yang paling tinggi mengandaikan tercapainya kedua keutamaan di bawahnya. Dikaiosune adalah keutamaan yang muncul ketika tiap-tiap bagian ini melakukan tugasnya masing-masing.
Platon menganalogikan kondisi manusia yang seperti ini dengan seorang sais yang mengendarai kereta yang ditarik dua kuda bersayap. Sais itu (bagian rasional) ingin bergerak ke langit yang paling tinggi. Salah satu kuda juga ingin bergerak ke atas (bagian keberanian). Akan tetapi mereka jatuh karena kuda yang lain (bagian keinginan) menarik mereka ke bumi.11
Selain itu, Platon juga menunjukkan kebakaan jiwa manusia. Ia melakukannya melalui dua cara. Dalam cara pertama ia mendasarkannya kepada hubungan jiwa dengan idea. Idea bersifat abadi, maka jiwa yang mampu mengenali idea juga pasti bersifat abadi, karena ‘yang sama mengenal yang sama’. Selain itu, ia juga menunjukkan hal tersebut dengan mengatakan bahwa jiwa mampu menggerakkan dirinya sendiri dan pada akhirnya menggerakkan badan. Dengan demikian, sesudah kematian, jiwa akan tetap ada sebab ia mampu menggerakkan dirinya sendiri.12
Aristoteles
Ada
Ada atau substansi menurut Aristoteles memiliki dua arti. Yang pertama adalah objek individu yang bisa diberikan predikat dan tidak bisa menjadi predikat bagi yang lain (pertanyaan tentang substansi adalah sama dengan pertanyaan tentang yang sungguh ada, dalam artian ada sejauh ada). Substansi dalam artian pertama selalu menjadi subjek (sub stare: tetap diam di bawah terlepas dari perubahan di atasnya).13 Contohnya adalah si Julia, si Manis, dan lain-lain.
Arti yang kedua lebih menyatakan jenis, dan karenanya dapat dijadikan predikat bagi yang lain. Substansi kedua ini menjadi kualitas bagi substansi pertama, dan sungguh-sungguh menghadirkannya dengan cara menempatkannya dalam suatu kelompok. Contohnya adalah manusia pada kata-kata ‘Julia adalah manusia’.
Dengan demikian, tidak seperti substansi pertama, substansi kedua tidak dapat menerima perubahan. Misalnya, Julia bisa terasa panas atau dingin tapi tidak kehilangan kenyataannya, sementara panas atau dingin tadi tentu tidak dapat menerima perubahan serupa.
Substansi kedua ini dapat dibagi menjadi sepuluh kategori: substansi, kualitas, kuantitas, relasi, waktu, tempat, posisi, status, aktivitas, dan pasivitas.14
Aristoteles juga membagi substansi atas materi dan bentuk, atau hylemorfisme. Materi adalah potensialitas yang menerima suatu bentuk, sedangkan bentuk adalah prinsip aktualitas yang menentukan materi. Salah satu contohnya adalah tangga kayu. Kayu adalah materinya, sedangkan tangga adalah bentuknya. Kedua hal tersebut saling membutuhkan. Materi membutuhkan bentuk untuk dapat mengaktualisasikan diri dari sekedar potensialitas saja, sedangkan bentuk membutuhkan materi untuk menyatakan dirinya.Dengan ini, Aristoteles menyatakan bahwa hakekat suatu benda berada di dalam benda itu sendiri, bukan pada idea seperti Platon.15
Aristoteles juga menyatakan empat penyebab yang memberikan suatu substansi, yakni: causa materialis, causa efficiens, causa formalis, dan causa finalis. Jika kita menggunakan contoh tangga kayu tadi, maka causa materialisnya adalah kayu, causa efficiensnya adalah tukang kayu yang membuatnya, causa formalisnya adalah bentuk tangga, dan causa finalisnya adalah untuk mencapai tempat yang tinggi.
Berbagai penyebab ini tidak selalu saling terpisah. Contohnya, causa efficiens bisa saja merupakan causa formalis sekaligus juga causa finalis, seperti yang ditemukan pada pohon cemara yang bertumbuh (semua causa tersebut di situ adalah pohon cemara).
Selain itu, Aristoteles juga berbicara tentang perubahan. Prinsip perubahan Aristoteles didasarkan atas potensialitas dan aktualitas tadi. Substansi bukanlah sesuatu yang diam. Ia terus melakukan proses menjadi secara bertahap. Sebuah tangga kayu tidak semata-mata meja kayu yang sudah jadi sejak awal. Ada proses dimana ia secara bertahap akhirnya menunjukkan dirinya, dimana potensialitas berubah menjadi aktualitas. Proses perubahan ini dijalankan melalui empat penyebab yang telah disebutkan tadi.
Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa alam raya ini selalu berubah. Setiap substansi di dalamnya secara bertahap berubah dari potensialitas menjadi aktualitas yang menjadi potensialitas dari aktualitas lain. Semua gerakan ini mengandaikan adanya penggerak pertama. Pertama di sini tidak berarti temporal, tapi dalam hal tingkatan. Penggerak pertama berlaku sebagai causa finalis yang menarik semua supaya bergerak ke arahnya. Ia bersifat abadi (karena tidak terikat waktu), merupakan aktus murni (karena ia tidak pernah menjadi potensialitas maupun materi), dan aktivitasnya merupakan pemikiran yang tertuju pada pemikiran itu sendiri.16
Pengetahuan
Penjelasan Aristoteles tentang pengetahuan juga didasarkan dari pergerakan potensialitas dan aktualitas. Pengetahuan tersebut dapat dibedakan menjadi pengetahuan dari objek sensibel dan pengetahuan dari objek inteligibel.17
Pada awalnya, terdapat organ indera dan objek sensibel yang akan diketahui. Organ indera ini kemudian menjadi suatu potensialitas yang berusaha untuk diaktualisasikan. Aktualisasi ini didapatkan dari objek sensibel tadi. Objek ini dipisahkan antara bentuk dan materinya, kemudian bentuk inilah yang akan mengaktualisasikan organ indera (organ indera berperan pasif). Kemudian, pusat organ (jantung) mengatakan bahwa ia menginderai objek tadi (berperan aktif).
Dari pengetahuan terhadap objek sensibel tadi, bentuk yang diterima disimpan dalam memori dan dapat digunakan sebagai objek inteligibel. Pada pengetahuan dari objek inteligibel ini, kembali objek inteligibel dipisahkan antara bentuk dan materinya (meskipun semuanya terjadi dalam pikiran), dan bentuk yang didapat diterapkan kepada pikiran yang sekarang menjadi potensialitas. Dengan demikian, pikiran menjadi sama dengan yang dipikirkannya (sama-sama potensialitas yang ditambah dengan bentuk yang serupa). Kepasifan dan keaktifan yang ditemukan sebelumnya juga dapat ditemukan di sini.
Aristoteles juga menunjukkan bagaimana pergerakan dimungkinkan dari penggerak yang tak bergerak. Contohnya adalah seseorang yang belajar bahasa. Pada saat ia belajar, terjadi perubahan dari potensialitas menjadi aktualitas, dari yang mungkin bisa menjadi bisa. Perubahan ini disebut sebagai aktus pertama, entelechia, realisasi pertama. Pada saat orang tersebut tidur, aktualitas tadi berubah menjadi potensialitas lagi (potensialitas kedua). Ketika ia bangun dan menggunakan bahasa yang ia pelajari, potensialitas kedua berubah menjadi aktualitas kedua, energeia, realisasi kedua. Pada perubahan kedua ini, tidak ada pergerakan yang nyata.18 Jika orang ini mengajar bahasa itu pada orang lain, maka pada dirinya terjadi perubahan kedua, sedangkan pada yang diajar terjadi perubahan pertama. Dengan kata lain, pada saat itu, orang tadi tidak mengalami pergerakan nyata, sedang yang diajar mengalaminya. Orang tersebut sudah menjadi penggerak yang tidak bergerak.
Manusia
Dalam pandangannya tentang manusia, Aristoteles menolak dualisme jiwa-tubuh yang terpisah. Baginya jiwa adalah aktualitas dari potensialitas tubuh. Tubuh bukanlah suatu wadah yang tidak berhubungan, melainkan benda organik yang sudah memiliki segala kemungkinan untuk menjadi hidup. Jiwa adalah aktualisasinya yang membuat tubuh hidup adalah tubuh hidup. Jika diibaratkan dengan mata, tubuh adalah mata, sedangkan jiwa adalah penglihatannya. Mata sudah memiliki potensialitas untuk melihat, bukan mata yang rusak, bukan lukisan mata, yang memungkinkan untuk terjadinya aktualisasi dalam bentuk penglihatan yang menyatakan mata adalah mata. Jadi hubungan antara jiwa-tubuh sama seperti materi dan bentuk dalam substansi.19
Aristoteles juga membandingkan manusia dengan organisme lain melalui kelengkapan organ dan daya yang diakibatkannya. Tanaman (berprinsip vegetatif) hanya memiliki organ dan daya nutrisi. Hewan (berprinsip sensitif) sudah ditambah dengan organ dan daya sensitif serta daya membeda-bedakan. Dan terakhir, manusia (berprinsip rasional) sudah memiliki organ dan daya berpikir.20
Plotinos
Ada
Filsafat Plotinos berpusat pada Yang Esa. Yang Esa di sini tidak memiliki atribut apapun. Ia adalah asal dan tujuan. Dengan demikian, ada dua gerakan dalam realitas. Gerakan yang pertama menaik menuju ke Yang Esa itu, sedangkan yang kedua menurun.
Gerakan yang menurun disebut emanasi. Pada gerakan ini, Yang Esa memancar terus menerus tanpa mengurangi hakekatnya sedikitpun. Emanasi ini terbagi menjadi tiga tingkat.
Pada tingkat yang paling dekat dengan Yang Esa, terdapat Akal Budi. Akal Budi ini memiliki aktivitas yang memikirkan dirinya sendiri. Jadi pada tahap ini, sudah ada dua hal, yakni yang memikirkan dan yang dipikirkan.
Pada tingkat selanjutnya, terdapat Jiwa. Jiwa ini terdiri dari Jiwa Dunia dan Jiwa individu-individu, menghasilkan jumlah yang tidak dua lagi, melainkan banyak. Jiwa Dunia menjaga harmoni dalam kosmos, sementara Jiwa individu bergabung dengan materi.
Di tingkat terjauh, terdapat materi yang paling tidak sempurna. Ketidaksempurnannya ini mengalihkan pandangan manusia dari Yang Esa tadi sehingga menghambatnya dari dorongan untuk menaik.21
Pengetahuan
Pengetahuan, dengan demikian, ditujukan untuk membawa manusia dalam pergerakan ke atas. Hal tersebut dilaksanakan melalui tiga cara: kesenian yang membantu kita mengenali keindahan sejati, filsafat yang mengenalkan kita akan dunia idea, serta askese yang melepaskan diri dari materi. Melalui ketiga cara ini lah, manusia akan dibawa kepada ekstase, bersatunya diri dengan Yang Esa.22
Manusia
Manusia adalah pribadi dunia spiritual yang ditambahkan dengan pribadi dunia material. Ketika pribadi dunia spiritual tidak disadari, manusia hanyalah pribadi kedua yang ditambahkan tadi, meskipun pribadi dunia spiritual tidak akan pernah hilang. Meskipun demikian, diri yang sejati adalah pribadi dunia spiritual itu.
Berbeda dengan kaum Gnostik, Plotinos percaya bahwa diri yang sejati dapat dicapai di sini dan sekarang, dengan cara yang secara khusus sudah dijelaskan sebelumnya.
Kembalinya seseorang pada dirinya yang sejati ini terjadi dalam bentuk ekstase. Pada saat ini diri yang sejati bangun dan kesadaran terlampaui. Namun, kondisi ini tidak dipertahankan terus. Pada akhirnya, individu tersebut akan kembali pada tubuhnya yang sadar.
Jadi, dapat juga dikatakan bahwa ketika kita menjadi diri kita yang sejati, kita tidak sadar. Ketika kita sadar, kita sudah tidak lagi dalam kondisi diri kita yang sejati. Paradoks dari diri adalah kita hanya sebatas yang kita sadari, akan tetapi kita baru menjadi diri kita yang sebenar-benarnya ketika kita kehilangan kesadaran itu.23
Meskipun demikian, pada akhirnya Plotinos tidak mengajak kita untuk semata-mata membuang kesadaran kita. Sebaliknya, pengalaman ekstase ini menunjukkan bahwa diri kita yang seperti ini meniscayakan Yang Esa, dimana diri menjadi baik emanasinya maupun ekspresinya.24
Daftar Pustaka
1. Warren J. The Oracles of Heraclitus. In: Presocratics. Stocksfield: Acumen; 2007. p. 63
2. Ibid., p. 66
3. Ibid., p. 73-4
4. Ibid., p. 70
5. Ibid., p. 63
6. Ibid., p. 74-5
7. Tjahjadi SPL. Petualangan Intelektual. 5th ed. Yogyakarta: Kanisius; 2004. p. 48
8. Wibowo AS. Idea Platon sebagai Cermin Diri. Basis 2008 Nov-Des; 57 (11-12): 5
9. Wibowo AS. Karya Platon dan Pemikirannya. Sejarah Filsafat Yunani. STF Driyarkara. Jakarta, 2010. p. 4
10. Ibid., p. 6-7
11. Tjahjadi SPL. Petualangan Intelektual. 5th ed. Yogyakarta: Kanisius; 2004. p. 53
12. Ibid., p. 53-4
13. Wibowo AS. Aristoteles. Sejarah Filsafat Yunani. STF Driyarkara. Jakarta, 2010. p. 1
14. Ibid., p. 2
15. Tjahjadi SPL. Petualangan Intelektual. 5th ed. Yogyakarta: Kanisius; 2004. p. 66-7
16. Ibid., p. 68-9
17. Wibowo AS. Biografi Singkat Aristoteles. Sejarah Filsafat Yunani. STF Driyarkara. Jakarta, 2010. p. 5
18. Wibowo AS. Aristoteles. Sejarah Filsafat Yunani. STF Driyarkara. Jakarta, 2010. p. 3
19. Ibid., p. 4-5
20. Wibowo AS. Biografi Singkat Aristoteles. Sejarah Filsafat Yunani. STF Driyarkara. Jakarta, 2010. p. 4
21. Tjahjadi SPL. Petualangan Intelektual. 5th ed. Yogyakarta: Kanisius; 2004. p. 91-2
22. Ibid., p. 92
23. Hadot P. Plotinus and the Simplicity of Vision. Chicago: University of Chicago Press; 1998. p. 32
24. Hadot P. Plotinus and the Simplicity of Vision. Chicago: University of Chicago Press; 1998. p. 34
Halo Hubertus...
ReplyDeleteSetelah membaca tulisan di atas, sy merasa ada link yg hilang. Seperti makan lontong yg dikasih saos kacang, kamu ga tahu apakah kamu sedang makan gado-gado atau ketoprak atau memang hanya lontong dg saos kacang?
So give me the gado-gado or ketoprak...mendadak lapar..hehehe..
Nuning
lo maunya tulisan tentang apa?
ReplyDelete